Selasa 16 April 2013. Saya masih
berjibaku di depan laptop saat sebuah nada panggil yang tak asing mengalun pelan
dari handphone Galaxyku. Kutatap layar touchscreen-nya
lekat-lekat. Ada pesan masuk dengan nama “Pak Indri Dinas” terpampang di sana. “Ada
info apa gerangan? Tumben sekali
Bapak SMS aku?”, cepat kubuka kotak masuk di folder message tersebut. “Mas
Ari, ada program pelatihan guru singkat di Australi, kalau njenengan tertarik. Info lebih lengkap ada di dinas”
Wow, surprise sekali. Aku
berjingkrak-jingkrak kegirangan. Dasar saya memang hobi gratisan, maka beasiswa
ini langsung kuiyakan. Segera ku reply
SMS beliau “Injih pak, ini saya
berangkat ke Dinas”.
Kupacu motor supraku diantara
deru angin dan debu kota Sragen yang beterbangan. Teriknya mentari musim
kemarau ini terasa jelas menembus jaket bulu dari Jepang yang kupakai. Keringat
mengucur deras. Tak ada waktu untuk melepas jaket. Terlambat sedikit saja,
Bapak sudah pasti pulang & mimpiku terbang ke Australia bisa ikut menguap. Ayuh cepat cepat.
Sampai di pelataran Dinas
Pendidikan Kabupaten Sragen, waktu menunjukkan sekitar pukul 11.00 siang. Fiuh Alhamdulillah
belum terlambat. Segera kulepas jaket & bergegas menuju ruangan Pak Indri, yaitu
Ruang Tenaga Kependidikan yang akrab disapa Tendik.
Beberapa staf Tendik tampak sibuk
dengan tugasnya masing-masing. Kebanyakan mengetik & mensortir berkas.
Ruangan ini memang tak pernah sepi. Lihat saja berkas guru yang menggunung
hampir di setiap meja. Maklum, pemberkasan sertifikasi & kepangkatan guru
memang dipusatkan di ruangan ini. Tak heran apabila guru-guru sangat menaruh
hormat dengan para personelnya.
Kulirik meja di sebelah kanan
pintu masuk, Pak Indri ada di sana, alhamdulillah
Bapak ada di tempat. Satu hal yang kupelajari setiap bertandang ke Dinas
Pendidikan adalah, orang dinas itu seperti emas yang terpendam. Kadang bisa
mudah kita temui, kadang harus menunggu berjam-jam. Apalagi kalau datang
terlalu siang. Bisa-bisa orang yang ingin kita temui sedang istirahat makan,
sholat, atau tugas ke luar entah ke mana. Begitupun dengan Pak Indri. Syukur,
aku dimudahkan bertemu beliau kali ini, dan tak ada antrian panjang seperti
biasanya.
Setelah kucium tangan beliau
dengan takzim, akupun duduk. Pak
Indri segera menjelaskan isi SMS beliau. Beliau menjelaskan bahwa ada surat
dari Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah yang menerangkan bahwa, Dinas
Pendidikan Provinsi Jawa Tengah telah menjalin kerjasama dengan Pemerintah
Negara Bagian Queensland Australia di bidang pendidikan & pelatihan guru.
Dan pada tahun anggaran 2013 ini kembali akan mengirimkan 6 orang guru
SMP/SMA/SMK yang telah lulus seleksi di Tingkat Provinsi untuk mengikuti kursus
singkat di University of Southern
Queensland (USQ) Australia.
Dan disurat itu pula ditambahkan,
Dinas Pendidikan Kabupaten Sragen diminta mengirim 1 orang perwakilan / duta
Kabupaten Sragen untuk mengikuti seleksi di Tingkat Provinsi pada hari Sabtu 27
April 2013 di Aula Ki Hadjar Dewantara Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah
Semarang.
Pak Indri kemudian menjelaskan,
bahwa beliau sebenarnya sudah menawarkan ke SMP 1 & 5 Sragen, namun tidak
ada respon. Kemudian beliau berusaha menelfon Pak Mardi guru SMAN 1 Gemolong
yang tak lain adalah rekanku MGMP Bahasa Inggris SMA Sragen. Pak Indri
menambahkan: “Saya sudah coba hubungi Pak Mardi tapi HPnya tidak diangkat,
mungkin sedang ngawas UN, trus saya ingat Mas Ari, makanya langsung saya SMS”. Saya manggut-manggut riang
mendengar penuturan beliau. Memang hari itu bertepatan dengan penyelenggaraan
UN SMA hari yang ke-2. Wah beruntungnya
saya. Tahun ini saya tidak kebagian ngawas
UN. Saya bersyukur dalam hati, memang kalau rezeki insya Alloh tidak akan lari.
“Kalau Mas Ari sanggup, saya buatkan surat tugasnya”, Pak Indri menatapku
menunggu jawaban. “Sanggup Pak!”, ujarku mantap. Tak ada alasan untuk bilang
tidak sanggup. Apalagi saya sudah gagal di seleksi Monbukagakusho Jepang, memang sih
saya masih menunggu pengumuman beasiswa Singapore. Tapi tak ada salahnya tetap hunting beasiswa lainnya, paling tidak
sebagai cadangan. Syukur bisa lolos dua-duanya. Amien.
Setelah menerima surat Diknas
Provinsi untuk aku gandakan, Pak Indri menambahkan, “Surat Tugasnya bisa
diambil antara Rabu-Kamis Mas Ari,
karena menunggu tandatangan Bapake, dan
berkas ini harus dikumpulkan di Semarang paling lambat 19 April Mas, tapi saya kurang tahu, apakah
dikirim via pos atau harus dikirim langsung”. “Njih Pak siap, saya kan kirim langsung ke Semarang”, saya anggukkan
kepala mantap. Aku harus serius, tak boleh mengandalkan jasa pos. Kalau
terlambat bagaimana? Setelah itu saya bergegas pamit. Saya cium tangan beliau
dan kembali ke sekolah di Gemolong.
***
Malam itu aku berjibaku dengan
berkas-berkas pendaftaran. Aku sudah me-list daftar berkas yang harus
disiapkan, antara lain: form biodata, Pas Foto, Surat Tugas Diknas Kabupaten,
SK PNS, Ijasah & transkrip nilai, Surat Izin Kepsek, Pasport, TOEFL &
Surat keterangan Sehat. Pagi tadi aku sendiri sudah ke Puskesmas untuk meminta
Surat Keterangan Sehat. Beayanya murah karena memakai kartu ASKES, cuma tiga
rupiah saja. Semua berkas ini harus sudah sampai di meja Kepala Sub. Bag.
Program Diknas Provinsi Jateng paling lambat hari Jumat 19 April 2013.
Khusus untuk form biodata, aku explore sedetail mungkin data diriku:
riwayat pekerjaan, pendidikan & latihan, pengalaman organisasi, pengalaman
kegiatan, hingga pengalaman kunjungan ke luar negeri (Kuala Lumpur Malaysia).
Dua hari sebelumnya, ketika aku
mengambil Surat Tugas di Dinas, Pak Indri menyelipkan pesan: “Saya dulu juga
pernah ikut seleksi ke Jepang Mas
Ari, tapi gak lolos, seleksinya diwawancara Bahasa Inggris, micro teaching & menampilkan bakat
kesenian”. Hmmm berarti aku harus
latihan nih. Maka sudah aku siapkan planning menghadapi wawancara tanggal 27
April tersebut. Maka aku tuliskan rencanaku untuk menghadapi wawancara itu.
Targetku tidak hanya menjadi 6 besar peserta yang lolos ke Queensland. Aku
harus peringkat 1. Titik! Aku sadar, kalau mau buat target harus maksimal. Jadi
nomor 1! Jadi kalau lewat, minimal dapat nomor 2 khan? He he.
Rencanaku itu adalah:
1. Membuat
short description tentang Sangiran.
Kenapa Sangiran? ya karena aku sebagai duta Kabupaten Sragen, maka sudah
seharusnya aku mengangkat obyek wisata lokal. Yaitu Museum Purbakala Sangiran.
Materi? bisa kita dapatkan dengan mudah di internet.
2. Membuat
materi micro teaching mapel Bahasa
Inggris. Kali ini aku akan paparkan materi unggulanku: “Penyelesaian Soal
Grammar Bahas Inggris dengan Pendekatan Matematik” mantap kan?
3. Merangkum
materi “Wawasan Kebangsaan”, siapa tau
ada soal wawancara yang seperti ini.
4. Khusus
untuk kesenian, karena aku tidak mahir menari, menyanyi (waktu kuliah hanya
backing vokal nasyid), ataupun main musik (waktu SMA pun Cuma bisa maen Drum), maka aku putuskan untuk
menampilkan geguritan atau puisi
Jawa. Untuk pelatihnya aku pilih Pak Joko Pri Guru Kesenian di sekolahku. Untuk
kostum aku akan pakai baju lurik & blangkon. Perfect plan. Bismillah.
OK, semua siap. The battle begins he he.
***
Jumat, 19 April 2013. Toyota
Avanza silver melaju bergoyang-goyang
ketika melewati wilayah Kabupaten Boyolali. Jalanan disana memang kurang
bersahabat. Aspalnya berlubang-lubang. Namun itu tak
menyurutkan puluhan truk pengangkut sayur & pasir, beserta mobil-mobil
pribadi untuk melaluinya. Ini memang jalan alternatif menuju Semarang. Rutenya
Gemolong-Boyolali-Salatiga-Tuntang-Ungaran-Semarang. 6 jam perjalanan PP harus
kutempuh hari ini. Bismillah, kuatkan
kami Ya Rabb.
Saat itu aku tenggelam di jok
mobil yang menjadi langganan sewa sekolahku. Pikiranku melayang cemas, kedua
tanganku berkeringat menggenggam erat berkas pendaftaran yang harus aku
serahkan hari ini juga. AC mobil berhembus kencang. Tetap saja peluhku
mengucur. Waktu menunjukkan pukul 06.00., sudah 1 jam lebih aku terguncang-guncang
di dalam kotak beroda ini. Mas Kamto,
sang driver tampak serius mengamati
jalanan di depannya. Dahinya berkerut tanda sedang berpikir keras. 10 menit
sebelumnya ibuku menelepon, lalu lintas Boyolali-Semarang macet 3 jam. Ini info
dari tetanggaku di karanganyar langsung yang baru sampai dari Semarang. Allohu Akbar. Cobaan apalagi ini. Bibirku
semakin kencang melafadzkan dzikir. Doa bepergian, ma’tsurat & dzikir lainnya silih berganti kulantunkan. Dan,
disaat mobil memasuki wilayah Salatiga, Mas
Kamto membanting setir ke arah selatan, kami masuk Jalan Lingkar Salatiga
(JLS). Kami memotong jalan.
*
JLS ini masih baru, lapang &
bersih layaknya jalan tol. Saya baca di koran proyek ini menyeret istri sang
Walikota ke hotel prodeo. Ah itu
bukan urusanku. Queensland yang paling penting, he he. Kuhapus bayangan seorang istri pejabat yang harus beradu
dengan dinginnya lantai penjara. Aku nikmati pepohonan di pinggir jalan dan
ruko-ruko setengah jadi yang tampaknya hendak menyasar para pengguna JLS dari
luar kota. Pastinya itu akan menjadi restoran atau minimarket. Dasar orang
Indonesia, ide bisnisnya muncul di mana saja.
Keluar dari JLS jalanan masih
lumayan lancar, namun saat memasuki Bawen, kekhawatiran kembali muncul. Tampak
di depan antrian mobil, truk, sepeda motor dan Bus menyemut meminta jalan. Ah proyek perbaikan jalan rupanya. Dalam
hati berpikir, kenapa Pemerintah Provinsi membuat 2 kegiatan proyek sekaligus?
Proyek Tol Semarang-Solo dan perbaikan jalan? Bukankah lebih baik selesaikan
dulu tol-nya, barulah perbaiki jalan? Sehingga kemacetan bisa terurai? Argh lagi-lagi ini bukan urusanku, Let it be aja. Jalani & hadapi! Kamipun
merayap dengan sabar.
Jam 08.00 tepat mobil memasuki
pelataran Dinas Pendidikan Provinsi Jateng. Gedungnya megah, & terletak di
kawasan elit Jl. Pemuda, bersama dengan sederet kantor pemerintah lain, Mall,
Hotel dll. Alhamdulillah, mudah
mencarinya. Tak perlu khawatir jika harus kesini lagi.
Sampai di dalam gedung, aku
hampiri petugas keamanan yang sedang berjaga. “Lantai 2 Mas”, begitu jawabnya ketika kutanya letak kantor Program. Setelah
mengucapkan terima kasih, pandanganku berputar, mencari anak tangga, tapi aku
melihat 1 hal yang lebih menarik: Lift. Lift? Ya, sebuah lift di kantor Dinas
Pendidikan. Ho ho ini baru surprise. Karena biasanya inovasi &
teknologi melekat pada kantor pajak, bank ataupun mall. Tapi lift di Dinas
Pendidikan? Wow, two thumbs up!
Di dalam Lift Diknas Provinsi Jateng |
Keluar dari lift mataku
mencari-cari plakat bertuliskan “Program”. 1 demi 1 ruang kulewati, dan ah ketemu! Mudah rupanya. Syukur deh.
Masuk. Bismillah.
*
Bapak itu terlihat cukup berumur.
Paling tidak usianya sudah berkepala 5. Tampak beliau sedang mensortir
berkas-berkas. Akupun menghampirinya. “Selamat Pagi Bapak, saya dari Sragen,
mau mengumpulkan berkas Queensland kemana ya?” . “Oh, kesini Mas!”,
jawabnya ramah. Aku melirik ke atas meja, rupanya sudah ada beberapa applicants yang mendahuluiku
mengumpulkan berkas. Aku bertanya lagi: “Untuk materi wawancaranya apa ya
pak?”, tanyaku pendek sambil menyerahkan berkasku. Untuk beberapa saat, Bapak
itu tampak berpikir & kemudian memanggil rekannya, yang kemudian datang
menghampiriku.
Dia seorang perempuan, umurnya
mungkin sebaya denganku. Aku ulangi pertanyaan itu untuknya. Dengan sopan,
beliau memintaku duduk di ruang tamu seraya bergegas mengulangi pertanyaanku
kepada salah satu rekannya. Setelah itu beliau menelpon seseorang. Menanyakan
hal yang sama. Pikirku, mungkin tanggung jawab teknis wawancara ada di Ketua Program,
sehingga tak semua staf mengetahui teknis materi soalnya.
Benar saja, setelah menelpon sang
penanggungjawab, beliau menghampiriku. Aku keluarkan bolpen & notes. Siap
mencatat. Ini emas, jangan sampai terlewatkan. Inilah manfaatnya datang
langsung ke panitia, kita dapat mengorek keterangan lebih dalam. Jika hanya
lewat telfon atau bahkan mengirim berkas via pos pasti akan sulit mendapatkan
informasi berharga ini. Dan kamipun akhirnya bertanya jawab.
T (tanya) : “Kursusnya nanti
berapa lama Mbak?”
J (Jawab) : “sekitar 3 bulan”.
Wow lama juga ya.
T : “Materi tes
apa saja Mbak?”
J : “Wawancara
saja, ada kepribadian, kebudayaan, pariwisata, Bahasa Inggris praktis &
mengajar, nanti bergantian tesnya. Satu-satu”. Oh, ternyata prediksi Pak Indri
tepat.
T : “Pembiayaan bagaimana?”
J : “Nanti
seluruh akomodasi, makan, hotel, pesawat ditanggung. Tapi uang saku hanya untuk
3 hari, sesuai indeks”. Uang saku cuma 3 hari? Wadow.
T : “Ada yang lain?”
J : “Visa
& cek kesehatan ditanggung sendiri, visa sekitar 2 juta, untuk General Check Up saya kurang tahu” . General Check Up? Terakhir aku General Check Up di RSUD Sragen,
beayanya 300 ribu sewaktu lolos tes CPNS dulu. Insya Alloh murah lah.
T : “Sudah berapa peserta yang mendaftar?”. Aku
harus berhitung cermat, semakin sedikit kompetitor maka peluangku semakin
besar.
J : “Sekitar
10, ada juga yang tadi baru nelfon, surat baru sampai ke kami besok. Ya tidak
apa-apa. Sabtu kita kumpulkan semua, senin baru kita olah”. Oh begitu, OK deh. Kalau 10 orang aku optimis, karena peluang masuk 6 besar
sangat besar.
T : “OK terima kasih Mbak”.
J :
“Sama-sama”.
Akupun pamit dengan segudang asa
menggelegak di dadaku. Yes, aku siap.
Aku beranjak keluar dari ruangan tersebut, kulihat ada anak tangga disebelah
timur. Aku urungkan niatku, aku mau mencoba pakai lift lagi. He he.
Sampai diluar segera kuajak Mas
Kamto pulang ke Gemolong, namun belum 5 menit jalan ketika melewati Gedong
Lawang Sewu, suasana tampak ramai. Rupanya hari ini bertepatan dengan Rapimnas
PKS. Wah berarti nanti akan banyak pejabat Jakarta & menteri-menteri yang
hadir. Aku ini sangat hobi berfoto dengan tokoh nasional, tak peduli mereka
dari partai apa. Terakhir, di CFD Sragen, aku bisa berfoto bersama Ganjar
Pranowo, anggota DPR pusat dari PDIP yang mencalonkan diri menjadi calon
Gubernur Jateng. Kali ini, aku ingin berfoto dengan Hidayat Nur Wahid, minimal
Anis Matta lah he he. Setelah
berputar mencari pintu masuk maka akupun kecewa. Pintu belum sepenuhnya dibuka.
Satgas & panitia PKS pun baru segelintir yang nampak, ini berarti acara
belum dibuka & kemungkinan siang atau malam baru dibuka. Maka aku urungkan
niatku. “Kita terus Mas”, aku
mengkomando Mas Kamto yang nampak ragu juga untuk masuk.
***
Hari-hari berikutnya aku sudah
tersibukkan lagi dengan tugas sebagai Humas di sekolahku. Sekolahku memang unik,
disini, Pendaftaran Siswa Baru (PSB) menjadi tanggung jawab Humas. Tak ayal aku
pontang-panting melakukan presentasi ke sana sini. Melobi sekolah-sekolah
favorit untuk bisa mengirimkan siswanya mengikuti seleksi menjadi siswa baru di
sekolahku. Disini pendaftaran siswa baru menggunakan sistem One Day Service. Pendaftar yang tertarik
bisa langsung datang bersama orangtua untuk mengikuti tes tertulis &
wawancara. Efeknya, hampir setiap hari aku menerima tamu dari dalam maupun luar
kota untuk mendaftar tes. Tak jarang kegiatan itu membuatku stuck dari pagi sampai sore. Gak bisa kemana-mana. Tapi ini tugas,
aku harus profesional, maka aku harus pintar membagi waktu. Disela-sela
kesibukan, dan berlanjut lembur di malam harinya, aku sempatkan download materi-materi yang kubutuhkan
dari internet. Strategi sudah matang, saat wawancara aku akan paparkan materi
sekaligus hardfile sebagai supporting evidences. Dan materi-materi
itu alhamdulillah bisa kuselesaikan
tepat pada waktunya. Semua terjilid rapih, dan masing-masing ada peruntukannya:
a. Makalah
penelitian Bahasa Inggrisku untuk wawancara micro teaching
b. Makalah
Museum Sangiran untuk wawancara kebudayaan & pariwisata
c. Kliping
kunjungan ke Kuala Lumpur & Home Visit Humas untuk wawancara kepribadian
d. Performance Geguritan untuk wawancara
kesenian
e. Brosur
sekolah untuk seluruh panelis, sekaligus promosi
Sebenarnya aku sempat berpikir
untuk membeli beberapa cinderamata khas Sangiran. Maksudku, untuk bukti riil,
siapa tahu pihak Queensland tertarik dengan souvenir tersebut. Tapi karena
kendala waktu, aku urungkan niatku.
Untuk performance geguritan, spesial aku melobi Pak Joko Pri, Guru
Kesenian sekolah untuk kerso
melatihku tampil geguritan. Alhamdulillah
beliau bersedia bahkan sangat antusias. Di sela-sela Pak Joko Pri menjadi
Pengawas UN, beliau berdiskusi denganku, materi apa yang cocok kiranya untuk
kutampilkan. Sempat kuutarakan, aku ingin materi geguritan yang mengkisahkan
pemuda patah hati. Sudah kubayangkan aku akan menagis sesenggukan ketika
tampil. Karena sudah jamak apabila seorang seniman tampil totalitas di atas
panggung, menangispun mereka jalani. Tapi kemudian aku berpikir, apa nanti
komentar istriku? Jangan-jangan dia berpikir aku patah hati sungguhan. Ha ha.
Aku sendiri secara pribadi memilih geguritan bukan tanpa alasan. Alasan
pertama, aku punya basic vokal &
lulus diklat Teater. Alasan kedua, aku Duta Jawa Tengah, maka aneh jika aku
tampil menyanyikan lagu Rock. Alasan
ketiga, Indonesia dikagumi karena budaya & kesenian daerahnya, dan aku
yakin performanceku ini akan bisa cetarr membahanaaaa di hadapan bule-bule Ostrali ha ha.
Setelah googling kesana kemari, akhirnya aku dapatkan materi geguritan yang
cocok dan pas dengan level suaraku. Rasanya enak aja melantunkan geguritan ini. Nafaskupun pas, tidak terengah-engah
disetiap akhir baitnya. Judul geguritan itu adalah: “Ambengan Sego Kuluban”
Ambengan Sega Kuluban
Ambengan
sega kuluban dieler ing tampah
diladekake
ing pasamunan
direncah
bebarengan, kroyokan, rebutan
ambengan
sega kuluban
oora ana
sing ngerti duweke sapa
kejaba dadi
pangane wayang , para dhalang
sing lagi
lungguh methingkring
(kidang lan trewelu,
kinjeng lan kupu mung bisa nyawang sinambi ngeleg idu)
ambengan
sega kuluban, wis gusis dienggo pesta
mung kari
tampah ngganda amis, angganda amis
banjur
kanggoo bal-balan para buta!
“Ambengan Sego Kuluban” sendiri terjemahan bebasnya adalah Nasi
Kenduri. Dimana Nasi disini mengibaratkan pangkat / jabatan. Geguritan ini
sebenarnya semacam kritik sosial dimana rakyat sudah jenuh dengan perebutan
kekuasaan / jabatan dengan menghalalkan segala cara. Rakyat sendiri selama ini
hanya menjadi penonton, dimana kekuasaan (wayang)
sedang dimainkan oleh para penguasa (dalang).
Dan pada akhirnya pertarungan berebut tahta itu sendiri tidak menyisakan apapun
untuk rakyat (wis gusis dienggo pesta, mung kari tampah ngganda amis, angganda amis ). Rakyat
(kidang lan trewelu, kinjeng lan kupu) hanya
bisa menonton tak berdaya (mung bisa
nyawang sinambi ngeleg idu).
Latihan geguritan bersama Pak
Joko terasa menyenangkan. Ternyata beliau sudah siap dengan sinkronisasi backsound musik. Jadi skenarionya, aku acting di depan juri, sementara itu backsound musik akan mengalun
dibelakangku. Tentunya nanti di lokasi tes aku harus prepare laptop & mini
speaker.
Ternyata bermain dengan iringan
musik bukan perkara yang mudah. Berkali-kali momentumku tidak pas. Saat
geguritan mencapai klimaks, aku berteriak marah penuh ekpresi..eh musiknya malah mendayu-dayu. Demikian
juga sebaliknya, saat ekspresiku mendatar bahkan cenderung melo, si backsound malah berteriak mengeluarkan
nada tinggi menghentak-hentak. Alhasil latihan hari itu harus diulang dan
diulang lagi. Pak Joko tidak mau setengah-setengah. Harus perfect. Beliau
memang luar biasa.
Akupun berlatih dengan penuh
ekspresi, beberapa rekan yang memergokiku berlatih di Ruang Humas ternganga tak
percaya. “Kowe ngopo Jerr?” tanya mereka
terheran-heran. Memang program ke Queensland ini hanya aku share ke beberapa orang saja. Jadi teman-teman lainnya surprise saja ketika melihat aku seperti
bermain kethoprak. Kenapa seperti kethoprak? ya, karena selain tak biasa mendengarku berteriak-teriak dengan
bahasa Jawa, aku juga memakai pakain lurik Jawa lengkap dengan blangkon
ikatnya. Properti itu aku pinjam dari salah satu siswaku, Zulfikar Ali. Yang
unik dari baju lurik tersebut adalah aromanya yang seperti karet terbakar.
Sudah dicuci berulang kali, ditambah pewangi & parfum, tapi tetap saja
baunya menusuk hidung ha ha.
Jaka Tarub siap tempur He He |
Akhirnya setelah berlatih sekian
kali, lengkap dengan properti surat kabar & kursi kayu, serta mengedit
bagian backsound yang kurang pas,
akhirnya latihanku selesai. Aku siap aku siap!
*
Hari itu, H-1. Di Sekolahan, aku
berbincang santai dengan Kepala Sekolahku, Pak Cip. Aku sampaikan kepada
beliau, bahwa esok aku akan menghadapi ujian wawancara di Semarang. Beliau
sangat senang & menaruh harapan besar terhadapku. Nasehat demi nasehat
mengalir dari bibir beliau. Aku sangat menghormati beliau ini. Di usianya yang
sudah berkepala 4, beliau masih bersemangat dalam kegiatan sekolah, terkadang
harus bolak balik ke Jakarta juga. Menerima tamu, melakukan presentasi,
bolak-balik ke Dinas untuk segala tetek bengek pekerjaan, Jarak sekolahku
dengan Dinas Pendidikan Kabupaten hampir 1 jam perjalanan. Bahkan, terkadang
beliau bolak-balik sampai 4 kali dalam sehari. Yang luar biasa adalah, beliau
tak pernah naik mobilke sekolah. Satu-satunya kepala sekolah yang mau naik
motor kemana-mana. Bukannya tak punya mobil, beliau punya 1 mobil Suzuki di
rumahnya. Hanya, beliau lebih enjoy
naik motor. Lebih manly mungkin. Jenggo istilahnya ha ha. Itulah kepala sekolahku yang unik. Tapi semua orang di
sekolah ini menaruh hormat padanya, bahkan guru-guru asing disini juga menaruh
hormat pada beliau. Beliau memang tegas,
namun kalau sedang baik hati, mulut kita bisa ternganga tak percaya. Contohnya
hari ini, saat aku berpamitan kepada beliau, aku jelaskan bahwa besaok aku akan
mengenakan batik PGRI. Maka beliau dengan runtut menjelaskan bahwa aku tak
boleh lupa memakai ID Card, bros PNS
dan peci! Peci? Hadeuh, masak wawancara mau pakai peci? “Pakai
peci mas. Harus komplit. Ini pakai peci saya kalo ndak punya”, ujar beliau sambil menyodorkan sebuah peci
beludru warna hitam pekat. Akupun membungkuk menerima peci dari beliau dengan
perasaan mengharu biru. Terimakasih Bapak. Saya tak akan mengecewakan Bapak.
Begitu janjiku dalam hati.
***
Sabtu, 27 April 2013. Hari H.
Hari persidangan. Sudah sejak pukul 02.00 dinihari aku bangun. Malam begitu
cepat berganti pagi, sehingga aku tak sadar. Sepertinya baru beberapa saat yang
lalu menutup mata, eh ini sudah hampir
subuh. Semua properti sudah ready.
Hari ini aku akan memakai batik PGRI warna putih. Selain lebih official, setiap hari Sabtu, guru PNS di
Sragen diwajibkan memakai batik ini. Istriku sudah menyiapkan semuanya, so aku
tinggal berangkat saja. Targetku, aku sholat subuh di Salatiga. Dari luar
kudengar deru suara mobil jemputan yang datang, segera kupindahkan Rafa yang
sedari tadi bergelayut manja digendonganku kepada bundanya. Aku berlari ke
kamar mandi.
Malam itu aku ditemani Pak
Sarimo, karena Pak Kamto ternyata harus mengantar siswa sekolahku ke Malang. Aku
sebenarnya lebih prefer Pak Kamto
karena aku yakin dia lebih menguasai jalanan menuju Semarang, tapi aku pasrah
saja. Bismillah.
Beliau, Pak Sarimo ini sudah
sepuh, mungkin driver paling senior diantara yang lain. Rambutnya memang
beberapa sudah memutih, tapi ditambah lintingan kumis lebatnya beliau tetap
terlihat sigap di belakang kemudi. Kami melaju menembus malam dengan tanpa
suara.
*
Target tercapai, kami bisa sholat
subuh di Salatiga menjelang pukul 05.00, taklupa ibuku berkirim SMS mengecek
loaksi terakhirku. Beliau juga khawatir, andaikan aku terlambat sampai di
Semarang. Alhamdulillah jalanan masih
sepi pagi itu, meskipun jalanan yang terkena proyek masih diperbaiki, kami
tetap bisa melaluinya dengan lancar, bahkan tanpa perlu berputar melewati JLS.
Pak Sarimo memang driver yang berpengalaman.
*
Sampai di lokasi ternyata pintu
gerbang Dinas Provinsi masih setengah tertutup, aku cek penunjuk waktu di HP
Galaxyku. Ternyata masih pukul 06.37.
aku kepagian ha ha. Tapi ini modal
berharga, aku peserta pertama yang hadir, meskipun seragam batik PGRI masih
tergantung rapi di dalam mobil. Bergegas aku masuk ke dalam gedung, penasaran
dengan denah lokasi wawancara. Info dari Pak Adi, sekretaris Kepala Sekolahku,
gedung Dinas Provinsi memanjang ke belakang, sehingga banyak bangunan &
ruang disana. Aku harus menemukan lokasi wawancara sesegera mungkin.
Di dalam aku berpapasan dengan
beberapa petugas jaga. Nampaknya mereka petugas security yang mendapat giliran
shift malam. Sebentar lagi, pada pukul 07.00 mereka akan digantikan oleh rekan
mereka, dan merekapun bisa balas dendam dengan tidur seharian di rumah. Akupun
menanyakan lokasi wawancara kepada mereka.
Ternyata aula Ki Hajar Dewantara
terletak di selatan gedung utama. Akupun naik ke lantai 2 tempat wawancara.
Kulihat pintu kacanya masih tertutup rapat. Di dalam ada deretan meja kursi
yang membentuk huruf U. Seperti ruang seminar saja. Bagaimana nanti bentuk
wawancaranya? Aku bertanya dalam hati.
Ruang Wawancara |
Puas melihat-lihat lokasi
wawancara, aku beranjak turun. Di bawah aku bertemu dengan seorang bapak-bapak
yang nampak letih karena perjalanan jauh. Tutur katanya lembut & ramah.
Belakangan aku tahu, beliau adalah Bapak Badyani, guru SMPN 1 Kebumen. Beliau
berangkat dari Kebumen jam 02.00 pagi tadi dengan travel. Petugas jaga yang
tanggap beliau datang jauh, segera menawarkan beliau untuk mandi. “Kalau mau
mandi, itu ada kamar mandi sebelah timur gedung Pak, sampeyan lurus saja terus belok kiri”. Pak Yanipun mengangguk riang
dan segera bertolak kesana membersihkan diri. Akupun berinisiatif keluar cari
makan. Perutku keroncongan minta diisi. Sebenarnya malas juga mau makan,
pikiranku fokus ke wawancara, tapi bila aku lewatkan sarapan, magh-ku bisa kambuh. OK aku makan dulu saja.
Sarapanku saat itu tak bisa kunikmati. Aku
malah sibuk melahap berita pagi Jawa Pos yang disediakan warung makan ini.
Warung ini lumayan bersih, letaknya sekitar 300 meter barat Gedung Dinas
Pendidikan. Didepan meja makanku tampak menjulang Gedong Lawang sewu yang
terkenal itu. Nasi ramesku masih mengepul ngepul belum kusentuh. Aku tak
berselera. Padahal lauknya komplit. Ada nasi, sayuran, telor dadar dan kerupuk.
Disebelahku, Pak Sarimo tampak asyik dengan Soto Semarangnya. Aku harus makan
walau sedikit, pikirku.
Nasi Rames saat di Semarang |
*
Kembali ke lokasi ujian, ternyata
peserta sudah ramai. Wawancara masih 1 jam lagi. Maka aku beranjak menuju
mushola di belakang Aula. Aku benamkan diriku dengan sholat dhuha. Memohon
hasil yang terbaik.
Setelah mantap dalam doa, aku
bergegas ke mobil untuk berganti pakaian. Tak lupa kusemprotkan Axe Chocolate
favoritku berulang-ulang. Hmmm wangi.
Kuhirup nafas dalam-dalam. Semua file dalam tas aku periksa dengan teliti. Baju
lurik Jawa & blangkon ikatnya sudah terlipat rapi juga di dalam tas. OK aku
siap. Bismillah. Taklupa kumohonkan
doa dari Pak Sarimo. Amien.
*
Antrian itu cukup panjang,
rupanya pesertanya jauh melebihi angka 10 peserta. Setelah membubuhkan
tandatangan di nomor 14 yang terpampang namaku, ternyata kami mendapat uang
transportasi. Kubaca angka yang tertera di amplop putih tersebut. Rp. 95.000,
aku tersenyum sambil menyematkan nomor peserta di seragam batikku.
Sempat kaget juga ketika seorang
panitia menyatakan berkasku kurang lengkap. Aku protes, “Sudah semua Pak”.
“Surat izin kepsek belum ada Mas”,
begitu ujar mereka. Panik, aku periksa form pendaftaranku, form ini sudah
kujilid rapi, jadi tak mungkin tercecer. Kecuali, jika memang belum ikut
terjilid. Aku segera bongkar isi tasku, file demi file kukeluarkan, sampai
akhirnya...ahh ternyata berkas
aslinya terlewat tidak kujilid. Berbegas aku serahkan berkas susulanku tadi. Fiuh syukur.
Tercatat ada 35 peserta
perwakilan Kabupaten Kota se-Jawa Tengah yang hadir pagi ini.mereka adalah
wakil terbaik masing-masing daerah. Tiap orang membawa nama baik & gengsi
dari masing-masing wilayah. Tak ada yang mau datang jauh-jauh hanya untuk
kalah. Mereka ada yang datang dari Wonosobo, Tegal, Pekalongan, Magelang,
bahkan Cilacap! Dan mereka tampak well
prepared. Wow pertarungan ini
takkan mudah, tapi, aku siap!
Sampai didalam kami duduk
bergerombol. Ada yang bergerombol di sebelah timur. Kebanyakan ibu-ibu,
sisanya, bapak-bapak lebih memilih berkumpul di sebelah barat.
Tak ada yang
berani duduk di kursi utama yang berjejer melingkar di tengah ruangan. Akupun
duduk menyebelahi Pak Yani. Beliau yang terlebih dahulu kukenal, dan secara
insting, aku nyaman ngobrol dengan beliau. Kami ngobrol sambil menikmati snack
dari panitia. Tak lupa kami sesekali menyelidik kontestan lain, rupanya banyak
juga yang saling mengenal meskipun berbeda kota. Rupanya mereka masih satu
MGMP. Aku merasa terasing nih. Fiuh. Tak
lama beberapa staf Diknas memasuki ruangan, acarapun dimulai.
*
Acara itu dibuka dengan
perkenalan dan sambutan dari Bapak Ketua Program. Orangnya masih cukup muda,
sekitar 40 tahunan, terlihat enerjik, casual,
dan humoris. Di beberapa momen malah aku menangkap beliau agak genit, terutama
pada ibu-ibu ha ha. Maaf kalau saya
salah menginterpretasi. Mungkin, beliau hanya mencoba bersikap ramah, itu saja.
Beliaupun memperkenalkan ke empat
dewan Juri. Yang saya ingat, 2 orang adalah guru SMP & SMA di Semarang,
sementara 2 sisanya adalah Dosen UNNES & UNDIP. 1 laki-laki & 3
perempuan.
Bapak Ketua Program memaparkan,
bahwa program kerjasama Diknas Provinsi Jateng dengan USQ Queensland ini
sendiri sudah berlangsung sejak tahun 1993, dimana tahun 2013 ini adalah
penyelenggaraan yang terakhir untuk MOU tahun 2011-2013. Diharapkan tahun-tahun
sesudahnya program ini dapat terus berlangsung.
Beliau juga menjelaskan, apabila
terpilih ke Queensland, hendaknya jangan lupa pulang, karena ternyata ada
peserta tahun kemarin yang tidak pulang, begitu kata beliau sambil tertawa. Aku
sendiri kurang paham mengapa sampai ada peserta yang belum pulang ke Indonesia.
Mungkin maksudnya mereka lanjut studi S2. Atau bahkan menikah dengan orang sana
& menetap disana, entahlah.
Selesai ketua Program menjelaskan
acara, sesi diambil alih oleh panitia. Kami dijelaskan bahwa 35 peserta akan
dibagi ke dalam 4 kelompok. Dan masing-masing kelompok bergantian presentasi di
depan juri. Pembagian nomornya sebagai berikut:
Nomor urut 1 - 9 : dengan penguji
1
Nomor urut 10 - 18 : dengan
penguji 2
Nomor urut 19 - 27 : dengan
penguji 3
Nomor urut 28 – 35 : dengan
penguji 4
Karena aku nomor 14, maka aku
akan menghadapi penguji 2 dahulu. Fiuh
Bismillah ya Alloh mudahkanlah kami. Amien.
Kamipun keluar dari ruangan &
menunggu panggilan. Taklupa aku kabari setiap perkembangan di lokasi ujian ini
kepada istriku di rumah via whatsapp.
Aku memang sengaja membeli sepasang HP Galaxy android ini supaya kami bisa
leluasa berkirim pesan. Karena aplikasi yang bisa diunduh gratis dari Google Play ini bisa digunakan sepuasnya
/ unlimited dengan cara berlangganan
paket data. Bila mengandalkan SMS terus bisa jebol tabungan kami. Maklum,
meskipun sudah hampir 9 tahun usia pernikahan kami,, kami masih sering berkirim
pesan setiap menit layaknya penganten baru he
he.
Peserta menunggu panggilan wawancara |
Tak berapa lama salah seorang panitia
sibuk membagikan kuesioner kepada peserta. Isinya ada 20 soal yang berisi lebih
ke kualifikasi pribadi kita sebagai seorang guru, juga beberapa pertanyaan
mengenai team work & sedikit
diuji pengetahuan kita soal Queensland & USQ. Untungnya aku sudah
mengantisipasi pertanyaan ini dengan melakukan Googling di internet beberapa
hari sebelumnya. Gampang lah. Sambil
asyik mengerjakan kuesioner & berbalas whatsapp
dengan istriku, tampak seorang panitia berteriak-teriak memanggil peserta.
Seorang panitia kembali memutari
peserta. Kali ini beliau membawa kotak berisi pin / bros. Ya, pin atau bros itu
mungkin semacam kenang-kenangan bagi peserta wawancara. Ukurannya sekitar 2 cm.
Berwarna merah putih dengan latar gambar anak-anak SD berpakaian nerah putih
pula. Di bagian atasnya, terpampang tulisan setengah lingkaran berbunyi: “Aku
Bangga Indonesia Tanah Airku”. Hmm sangat berwawasan kebangsaan sekali. Memang,
meskipun kita nanti tinggal di negeri orang, jati diri kita sebagai bangsa
Indonesia harus tetap kita jaga & tak boleh luntur. Akupun menggenggam pin
itu erat-erat.
“Peserta nomor 1 ke penguji 1”.
Tampak salah seorang peserta bangkit dari duduknya & bergegas menghampiri
ruang ujian dengan wajah yang lumayan tegang. Kami yang duduk mengantripun
tertular ikut tegang. Ah Nomor 14 masih lama, pikirku. Kemudian panitia
melanjutkan,
“Peserta no 10 ke penguji 2”. Tak ada respon.
“Nomor 10!!”, kali ini dia memanggil lebih keras. Masih juga tak ada respon.
Penasaran akupun ikut menyelidik, ini peserta bandel banget sih, baru mau ujian aja dipanggil gak
denger-denger. Atau mungkin sedang ke WC? Entahlah. Saat ini semua orang
tegang. Pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka bukan ide yang buruk. Aku
kembali menekuni soal di hadapanku.
Suara itu muncul lagi, “Nomor
10!!”, tidak ada jawaban lagi. Kepalaku kembali berputar mencari ada peserta
yang mungkin tiba-tiba berdiri & sambil pucat pasi meminta maaf karena tak
sadar dipanggil sedari tadi. Tapi tak ada yang bergerak. Semua peserta masih
duduk sambil berkutat dengan kuesioner. Akhirnya peserta no 11 dipanggil.
Seorang wanita berdiri dan bergegas masuk ruang pembantaian.
Belum habis pandanganku mengikuti
peserta no 11 tadi, tiba-tiba salah seorang peserta menunjuk ke arahku &
berkata, “Lha itu Masnya nomor 10”. Hah!!, JEGERRRR , aku
bagai tersambar petir. Keheningan yang menusuk merayapi kaki hingga kepalaku. jangan bercanda friend, teriakku dalam hati.
Tapi tak ayal aku pucat pasi, perasaanku campur aduk antara kaget & malu.
Apa benar aku nomor 10? Bukannya nomor 14 sesuai absen? Semua peserta memandangiku, beberapa lagi
tertawa. Mukaku panas & memerah pastinya. Aku sigap membaca nomor dadaku
lekat-lekat. 10. Mati aku. Ternyata aku nomor 10!
Tak ada suara yang bisa keluar
dari bibirku. Mataku bergerak lurus menatap sang panitia. Sengaja kubuat sayu
meminta belas kasihan & permohonan maaf. Bisa aku bayangkan, sebentar lagi
aku akan digampar panitia. Dan di hari pertama ujian pula!. Habislah sudah
cita-citaku. Aku sudah siapkan telingaku untuk mendengar makian terkeras
sekalipun, aku pantas menerimanya.
Tapi, ajaib, alih-alih marah
kudapat, panitia itu malah tersenyum. Ya, beliau tersenyum dan berujar: “Ya
udah gak papa, baru sibuk SMS ya. Ini peserta nomor 11 dulu yang
masuk, njenengan habis ini”.
Kalimat itu rasanya seperti salju
longsor di kepalaku. Nyeessss. Lega rasanya beliau gak marah. Aku anggukkan
kepalaku sambil mati-matian menekuk bibirku supaya tampak tersenyum. Padahal
aku malunya bukan main. Yah sudahlah.
Teman-teman yang lain juga sudah mulai sibuk dengan aktifitasnya
sendiri-sendiri.
Suasana kembali hening. Masih
dengan perasaan tak percaya aku mulai mengorek-ngorek letak keteledoranku tadi.
Pertama, di lembar absensi aku memang nomor 14, pertanda berkasku dikumpulkan
pada urutan ke 14. Tapi, nomor dada ternyata bukan berdasarkan berkas, namun
kehadiran di tes wawancara ini. Celakanya, aku tadi asal aja mengambil nomor dada, tanpa membacanya dengan teliti. Ah sudahlah, aku belajar 1 hal hari ini.
Harus teliti & korektif.
Akupun bersiap menanti panggilan.
Tiba-tiba, “Nomor 10!” Nomorku dipanggil. Kuseret tas dan map file yang penuh
file presentasi. Baju lurik Jawapun harus aku bawa selalu, karena aku tak tau dengan Juri ke berapa aku akan
perform kesenian. Yang penting, juri menyinggung soal kesenian, aku siap.
Aku berjalan dengan cepat, tak
lupa aku menebar senyum kepada panitia yang tadi memanggil-manggil nomorku.
Maaf ya mas, ujarku dalam hati.
Merekapun tersenyum. Fiuh syukurlah.
“Penguji 2 mas”, mereka berseru.
“Siap Pak”, aku menyahut cepat.
Pintu aula aku buka. Kok macet. Aku
coba daun pintu yang lain. Macet juga. Apa ini jebakan? Apa memang terkunci
dari dalam? Ternyata bukan ditarik seperti kebanyakan pintu. Tapi didorong ke
dalam. Ah malu lagi.
Pandanganku menyapu ruang ujian.
Ternyata keempat juri sudah menyebar ke empat penjuru. Lengkap dengan meja dan
kursi untuk peserta. Aku menelisik papan penanda penguji 2. Ternyata ada di
ujung timur. Aku segera berjalan cepat menyeberangi ruangan tengah. Ketiga
peserta lain sedang tenggelam dalam ladang pembantaian. Samar-samar kudengar
kosakata Bahasa Inggris yang terbata-bata. Ah
rupanya semua wawancara menggunakan Bahasa Inggris. Aman, pikirku.
Ibu itu berusia sekitar 40
tahunan. Dengan sorot mata yang ceria. Perawakannya tidak kurus tapi juga tidak
gemuk. Posturnya lumayan tinggi untuk ukuran seorang wanita. Tapi menurutku
beliau lebih cocok menjadi ibu rumah tangga. Terlihat Homy sekali soalnya. Auranya kayak
ibu-ibu rumahan. Apalagi dengan jilbab pendek yang terkesan casual, jauh dari kesan formal he he. Beliau menyapaku ramah. Aku
perkenalkan diriku dengan sehormat mungkin. Dan akhirnya, pertanyaan demi
pertanyaan mengalir deras.
Seperti dihujani panah
bertubi-tubi, aku sempat gelagapan menerima berondongan pertanyaan dari Ibu
tersebut. Aku tak menyangka Bahasa Inggrisnya cukup bagus, dan to the point! Tanpa pembukaan ataupun
basa basi. Ini gaya khas penguji tesis skripsi. Wew ini lawan yang sepadan. OK, akupun membenahi posisi dudukku dan
mulai defence. Satu demi satu pertanyaan
beliau mulai bisa aku tangkis, terkadang aku memberikan strike, pertanyaan balik yang menyerang atau sebuah jawaban memukau
yang membuat beliau sampai harus mendongakkan kepala, memandangku dengan
setengah tak percaya. Di kesempatan lain beliau sampai menyorongkan tubuhnya
dan menatap lekat-lekat materi yang aku paparkan sambil terheran-heran. Beliau appreciate. Done. 1-0 ha ha.
Mungkin rekan-rekan penasaran
dengan wawancara apa yang aku lalui itu. Well,
sebenarnya aku tak terlalu ingat persis dialognya dengan tepat, karena aku juga
tak merekamnya. Bahkan, nama ibunya sendiri akupun tak tahu!
Yang aku ingat, beliau banyak
menanyakan motivasi kedatanganku ke Queensland. Well, aku jawab bahwa kesempatan pergi ke luar negeri adalah
langka. Maka aku tak boleh melewatkannya. Saat beliau bertanya subject pengajaranku, maka aku paparkan
materi karya ilmiahku tentang pembelajaran Bahasa Inggris dengan pendekatan
matematis. Bahkan beliau meminta pemaparan lengkap dari awal sampai akhir.
Akupun mati-matian menjabarkan makalahku. Masalahnya, materi ini panjang &
aku harus merangkumnya sesingkat mungkin tanpa mengurangi pembahasan utamanya.
Pertanyaan ini berakhir dengan beliau mendesah nafas sambil menegakkan
tubuhnya. Beliau puas dengan jawabanku.
Pertanyaan berikutnya adalah asal
daerahku. Maka aku jabarkan Kabupaten Sragen berikut makalah singkatku mengenai
Museum Sangiran. Tampak beliau kaget ketika untuk pertanyaan kedua inipun aku
sudah siap dengan materi di tangan. Jemariku sibuk menyibak halaman demi halaman
foto-foto koleksi Museum Sangiran. Beliau cukup menikmatinya dan cukup puas
sejauh ini. Namun aku kurang yakin & tak mau lewatkan kesempatan langka,
maka aku jatuhkan statement simpananku, “Mam,
do you know that from all of fossils in the world, Sangiran has 50 % of it?”
Berhasil. Ibu itu mendongakkan kepala beliau sambil terperangah. 50 %? Ya,
hebat kan? Separuh dari koleksi fosil purbakala dunia ternyata ada di
Indonesia! Lebih tepatnya di Sangiran Sragen jawa Tengah. Aku yakin tak banyak
orang mengetahui ini. Dan akupun bangga ketika mengetahuinya. Indonesia memang
menyimpan potensi luar biasa. Semua yang mendengar ini pasti akan kaget, bangga
bahkan shock! Dan benar,Ibu itupun
lemas terkulai di tempat duduknya. 2-0, aku menang ha ha.
Di akhir wawancara terjadi
peristiwa yang sungguh di luar dugaanku. Andapun pasti sama tak percayanya
dengan saya. Tapi itu terjadi. Di depan mata & hidung saya. Saya
menyebutnya “rezeki dari arah yang tak disangka-sangka”.
Saat itu beliau sedang memaparkan
program sehari-hari di Queensland. Rupanya Ibu ini sebelumnya adalah alumnus
program ini. Beliau menjelaskan bahwa masing-masing kami nanti akan tinggal
dengan sebuah keluarga di Queensland. Setiap hari Senin dan Kamis kami akan
menghabiskan waktu di ruang perkuliahan University of Southern Queensland.
Selasa & Rabu kami akan mengajar di SMP & SMA di sana sesuai mapel
masing-masing. Hari sisanya untuk jalan-jalan. Wow, aku sudah membayangkan
kegiatan yang mengasyikkan di Universitas, mengajar bule-bule & tentu saja
menikmati pesona alam & tempat tamasya maupun belanja di Queensland.
Senyumku mengembang.
Dan, peristiwa itupun terjadi,
tak ingin kehilangan 1 poin pun dalam sesi wawancaraku ini, aku berikan jurus
pamungkasku. Memang aku belajar banyak dari susahnya menembus beasiswa luar
negeri. Maka aku harus totalitas. Memang program ini akan memberangkatkan tidak
hanya 1,2 tapi 6 peserta! Tapi tetap saja, targetku adalah nomor 1. Tak ada
ceritanya nomor 2 atau 6!
Saat beliau sedang asyik-asyiknya
menceritakan suka duka training di Queensland, aku menyela dengan sebuah
informasi, “ Mam, actually I have been
choosen by Kemendikbud Jakarta to join Postgraduate Program in Singapore,”
sambil telunjukku menunjuk tulisan pada berkas formulir pendaftaranku: KANDIDAT
PENERIMA BEASISWA KEMENDIKNAS – RELC SINGAPORE PROGRAM “BLENDED POSTGRADUATE DIPLOMA IN APPLIED LINGUISTICS” (2013).
Keheningan tiba-tiba muncul tak
lama sesudah statemenku tadi. Keheningan yang aneh, karena masing-masing kami
sibuk dengan pikiran yang berbeda-beda. Aku, tentu saja bungkam karena menunggu
komentar dan respon dari sang Ibu. Tapi jujur aku tak menyangka respon beliau
sungguh di luar perkiraanku. Sementara sang Ibu masih menatapku seolah aku ini
membawa berita bahwa sang Ibu barusan memenangkan undian senilai 1 Milyar ha ha. Tak ingin kehilangan momen, aku
hunjamkan strike-ku yang ke-2, “The plan is, I will go to Singapore in July
this year, & it will take 7 months of training”.
Masih dengan setengah tak percaya,
sang Ibu menyela, “So what about
Queensland’s program?” Aku faham arah pertanyaan beliau. Jika aku memang
mau ikut program Singapore selama 7 bulan, yang berarti antara bulan Juli 2013
sampai dengan Januari 2014 aku akan berada di Singapore. Dan tak mungkin aku
bisa membagi 2 konsentrasi antara Singapore & Australia. Ibu itu memintaku
menjatuhkan pilihan.
*
Saat itu di ruangan tempatku
bekerja. Seperti biasa aku berjibaku dengan berkas-berkas pendaftaran siswa baru,
proposal rekanan dan lain-lain. Ruanganku ini lumayan besar. Sangat besar
bahkan. Ukurannya sekitar 6x6 meter. Sepasang perangkat LCD & screen new menambah gagah ruangan ini.
Memang ruangan ini harus perfect,
karena semua tamu, terutama calon siswa baru akan masuk ke ruangan ini. Tiga buah
manekin separuh badan berjejer rapi disampingnya, lengkap dengan tiga kaus
kebanggaan sekolah kami. Dua buah AC merk LG berdengung halus di atas kepalaku.
Terjangan freonnya seringkali membuatku bolak-balik ke kamar kecil. Tiga buah
meja super besar dengan masing-masing PC terbaru merk ACER menambah kesan keren
ruanganku ini. Kemudian, sebuah meja panjang untuk menerima tamu berukuran 1x3
meter berdiri mematung di tengah ruangan. Enam buah kursi kayu menjadi temannya
sehari-hari. Di sebelah utaranya, berdiri tegak sebuah almari kaca yang tinggi
besar. Kesan gagahnya mulai luntur seiring dengan berjejalnya piala-piala hasil
perjuangan siswa sekolah kami. Bagian atas almari itu tampak sedikit melengkung
menahan beban. Alhasil, beberapa piala yang tak muat, sengaja diletakkan di
kanan kiri almari. Bukannya tak menghormati, tapi kami masih menunggu datangnya
almari kaca baru.
Ketika itu aku tak sendiri. Ada
seorang rekan kerja yang sedang sibuk menata berkas di dekatku. Memang,
sebentar lagi sekolahku akan mengadakan acara wisuda. Dan dia sebagai ketuanya.
Tak heran dia tampak paling sibuk akhir-akhir ini. Temanku ini bernama Evin.
Namanya aneh karena memang dia tak lahir di Indonesia. Dia kelahiran Kuala
Lumpur, ayahnya seorang diplomat yang sering berpindah-pindah negara. Oleh
sebab itu evin selalu ikutkemanapun ayahnya ditugaskan. Evin menghabiskan masa
kecilnya di Swiss, Turki, Perancis dan terakhir menempuh bangku kuliah di
Malaysia. Tak heran dia menguasai bahasa-bahasa negara tersebut. Bulan kemarin,
dia baru saja merampungkan program Double
Degree-nya di University De La
Rochelle Perancis. Dia memang jenius, aset yang berharga bagi sekolah kami.
Evin juga seorang trendsetter. Apa yang dia pakai, orang
lain jadi pakai. Apa yang dia beli, orang lain jadi beli. Dan apa yang dia
suka, maka orang lain pun suka. Mulai dari baju, sepatu, gaya rambut, shampoo dll. Pernah ada cerita, ketika
dia SMA di Semarang, dia mempercayakan potong rambutnya di Johnny Andrean, maka
semua siswa cowok 1 sekolahpun potong rambutnya di Johnny Andrean. Gila kan? Ha ha.
Kami berdua sering bertukar ide
dan gagasan. Termasuk soal pendidikan. Pengalaman dia mengambil Double Degree di Perancis, ditambah suka
dukanya tinggal di negara Menara Eiffel yang konon beaya hidupnya tertinggi di
dunia itu, membuatku yakin kalau dia lebih faham soal seluk belum pendidikan
luar negeri.
Siang itupun aku ceritakan
perihal dilema dua beasiswa yang cukup membuat keningku berkerut. Dia membaca
sekilas dua tumpuk berkas yang aku sodorkan padanya. Satu beasiswa Singapore,
dan yang satu beasiswa Queensland. Satu pertanyaan yang cukup membuatku
terhenyak adalah saat dia bertanya: “Mana yang lebih menguntungkan?”. Jujur aku
tak pernah berhitung secara teknis soal untung rugi. Termasuk kedua beasiswa
ini. Dua-duanya aku suka. Beasiswa luar negeri pula, darimana tidak
menguntungkan? Hanya saja, saat pertanyaan dikerucutkan ke tema: “Mana yang
lebih menguntungkan?”, maka ini bisa lain ceritanya. Lantas, aku paparkan saja
bahwa program di Singapore akan di handle
oleh Southeast Asian Ministers of
Education Organization Regional language Centre (SEAMEO RELC). Kelebihan
program ini adalah, guru PNS yang terpilih kemungkinan besar akan diangkat
menjadi guru pamong. Itu artinya dia akan menjadi guru trainer perwakilan
Kemendikbud, dan harus sanggup ditugaskan ke seluruh Indonesia. Ini sangat
menarik & menantang, secara jenjang karierpun lebih menjamin. Namun,
beasiswa Queensland menawarkan program yang lebih pendek serta di handle langsung oleh universitas
ternama, University of Southern Queensland. Maka Evinpun manggut-manggut.
Segera ia merekomendasikan pilihan 1, yaitu Singapore karena ada jaminan
jenjang karier bagiku.
Aku tak langsung mengiyakan,
memang alasan Evin masuk akal bagiku, namun pergi ke Australia sudah menjadi
semangat terbesarku saat ini. Bayangkan, bila harus berangkat sendiri, berapa
juta uang akan habis untuk akomodasi? Sementara, jika ingin ke Singapore saya
bisa pergi kapanpun & dengan beaya lebih terjangkau. Evin akhirnya ikut
pendapatku yang kedua. Ia setuju bahwa USQ Australia lebih bonafid. Ok saya
memilih Australia!
*
Dan itulah sebenarnya jawaban
yang aku berikan kepada sang Ibu, aku lebih memilih Australia. Sang Ibu
tersebut tampak terpekur sejenak. Dan kemudian kalimat itu muncul “I will give you the highest score if you
promise to take this Australia’s scholarship! You shall not embarassing Jawa
Tengah province if you cancel it!”
Kata-kata itu seakan meledak di
atas kepalaku. Ini baru first interviewer,
tapi aku sudah dapat Golden Ticket! Segera
saja aku berdiri & berteriak mantap “Ok
Mam, DEAL!!” Teriakku pelan, takut mengganggu konsentrasi peserta lain.
Hatiku membuncah ke awang-awang. Terima kasih ya Alloh, teriakku berulang-ulang
dalam hati. Ibu itupun tersenyum senang, sekaligus geli melihat tingkahku. Tak
apalah, yang penting aku senang sekali! Aku bahagia! Segera aku kemasi
berkas-berkasku & mohon diri untuk menunggu panggilan wawancara berikutnya.
“Thank you Mam, thank you Mam” ujarku
berulang-ulang. Yes! Aku lolos!! Aku
tak mampu menahan senyumku, bahkan sampai ke tempat duduk. Kubiarkan peserta
lain penasaran kenapa aku senyum-senyum sendiri. He he. Aku lolos teman! Aku lolos!
*
Rasanya baru beberapa saat yang
lalu aku duduk, melihat beberapa peserta yang hilir mudik keluar masuk ruang
tes. Suasana yang tegang bisa dengan mudah cair manakala Pak ujang peserta dari
Cilacap mengeluarkan joke-joke
lucunya. Semua tampak senang & terhibur. Tak ada lagi sekat kekakuan yang
tadi menghinggapi kami. Sekarang, kami jadi lebih pede untuk bertegur sapa dan saling menyapa. Semua karena Pak ujang.
Terima kasih Pak Ujang, Anda memang luar biasa! Dan panggilan itupun muncul.
Aku beranjak menuju pewawancara ke 2.
*
Beliau tampak tenang sekali.
Berparas seperti pejabat. Lebih mirip politikus menurutku. Dandanannya rapi.
Sisiran rambutnya sempurna. Pengaturan nafasnya yang sistemik menandakan beliau
tipe perfeksionis, tak mudah menerima
sebuah kesalahan. Aku mendapat lawan berat.
Dialog kami datar-datar saja,
cenderung mengalir. Dan tanpa emosi. Sulit sekali menarik respon dari beliau
ini. Beliau pasti tipe dosen yang sudah pengalaman. Pengalaman membantai
mahasiswa di ujian tesis sampai mereka menangis berdarah-darah sambil
menyembah-nyembah memohon ampun. Seperti aku saat ini. Bahkan untuk merekam
sebuah senyum dari beliaupun aku sangsi. Aku sangsi, itu sebuah senyum atau
sindiran sinis? Entahlah, tapi aku tak menyerah, 1 Golden Ticket belum membuatku tidur nyenyak malam ini. Maka aku
mulai melakukan strike, beberapa
jurus yang sempat jadi andalanku di sesi wawancara pertama aku keluarkan.
Ajaib, beliau mulai mendongakkan kepalanya. Aku serang, serang, serang dan
serang terus. Akhirnya aku dapatkan senyum itu. Alhamdulillah. 1 Golden
Ticket lagi Insya Alloh. Beliau
tersenyum sambil menitipkan pesan. Pesan supaya aku segera ambil Master atau S2. Insya Alloh pak. Saya sih
sebenarnya dulu sekitar tahun 2006 sudah apply
untuk Master Pengkajian Bahasa
Inggris di sebuah universitas swasta di Solo. Dengan jalur fresh graduate. Sangat murah. Tapi entah kenapa, kelas tidak bisa
dibuka karena ada kendala teknis, dan aku diminta pindah universitas dengan
konsekwensi kenaikan beaya hampir 2 kali lipat. Aku menolak. Dan seperti inilah
aku. Masih belum punya mood untuk
kuliah lagi dengan beaya sendiri. Kalau gratis? pasti aku mau! He he.
*
Sesi bertatap muka dengan
pewawancara ke 3 sangat menguras energi & emosi. Betapa tidak. Sudah 3 jam
lebih kami menunggu & baru dipanggil. Ini semua karena keputusan panitia
membalik nomor urut peserta. Peserta yang belakang menjadi peserta terdepan.
Dan inilah efeknya. Kami duduk mematung selayaknya kucing menunggu majikannya.
Diam, setia, tak bergerak. Peluh mengucur, wangi sabun mandi & minyak wangi
pudar sudah. Perut mulai mengempis minta diisi. Jatah makan siang tadi hampir
tak kusentuh. Menunya pedas. Dan aku sedang tidak mood untuk makan siang. Alhasil badanku mengigil berjuang menahan
lapar. Jangan sampai di depan pewawancara perutku keroncongan. Malu!
Aku isi waktu menunggu giliran
ini untuk berbincang dengan Pak Yani, sang guru asal Kebumen. Beliau tampak
kurang yakin dengan materi presentasinya. Aku geser posisi dudukku hingga
menyebelahi beliau. Ternyata beliau sedang menyiapkan materi presentasi
keunggulan daerah Kebumen. Selain kesulitan memilih pokok materi, beliau juga
terbatasi dengan kosakata Bahasa Inggris. Aku tergerak untuk membantunya.
Pak Yani guru SMPN 1 Kebumen |
Setelah beberapa kali mendengar
uraian singkat beliau, baru aku dapatkan kata kuncinya. Kebumen menyimpan
berbagai macam seni budaya & kekayaan alam. Saat itu aku putuskan beliau
mengambil sampel burung walet. Kenapa burung walet? Ya karena semua orang pasti
kenal burung walet & sarangnya. Dan inilah yang dimiliki oleh Kebumen: Goa
Karang Bolong. Segera aku gali sebanyak mungkin informasi mengenai Goa ini dan
waletnya. Tak lupa kami bermain Role Playing. Aku berperan sebagai juri dan
beliau sebagai peserta. Kami berlatih selama hampir setengah jam. Tak lupa aku
ingatkan beliau untuk mengeksplore apa itu perbedaan burung walet dan burung
sriti. Karena banyak orang tak tahu. Demikian juga aku. Aku baru tahu bahwa
ternyata burung sriti sesungguhnya adalah musuh burung walet. Burung sriti
sering merampas sarang burung walet dan membuang telurnya. Kamipun
menyempurnakan cerita ini dengan menerjemahkannya mati-matian dalam Bahasa
Inggris. Untuk walet terjemahannya tentu Swallow.
Bagaimana dengan Sriti? Ha ha. Kamipun sepakat untuk memakai kosakata darurat, Sriti
Bird ha ha.
Tak lama, Pak Yanipun maju untuk
wawancara. Dan setelah keluar, beliau sangat girang karena materi walet dengan
baik dapat beliau paparkan. Apalagi, ternyta sang juri juga sama dengan saya,
tak tahu apa bedanya walet dengan sriti! Ha
ha. Selamat pak Yani!
*
Akhirnya giliranku maju datang.
Beberapa menit sebelumnya, kasak kusuk terdengar santer di kursi peserta. Bahwa
pewawancara yang ke 3 ini killer! Aku
sigap menegakkan posisi dudukku. Dan mulai menguping pembicaraan mereka. Dari
pembicaraan teman-teman, kudapat info bahwa pewawancara ketiga ini seorang
perempuan. Fokusnya pada masalah kependidikan, dengan Bahasa Inggris yang
sangat fasih. Wow satu lagi ujian
berat menuju Golden Ticket ke 3. Bismillah.
*
Beliau masih cukup muda untuk
ukuran seorang dosen atau guru senior. Aku tebak usia beliau antara 35-37
tahun. Usia emas. Usia idealis. Lawan yang tangguh.
Senyum beliau di awal perkenalan
menegaskan itu semua. Ini senyum kemenangan. Bahkan sebelum aku bertarung!
Sungguh hebat panitia queensland ini. Dari mana mereka mendapat juri-juri
tangguh & berdarah dingin ala juri X Factor ini? Semuanya qualified, high quality, best of the best,
sebutkan semuanya. Tapi aku disini bukan untuk menyerah kalah. Aku adalah
pejuang. Dan mereka, para juri harus sadari itu, aku tak mau kalah!
Tak butuh waktu lama untuk bisa
menarik benang merah dari hasil wawancaraku yang ke 3 ini. Yang kuingat, aku
masih meledak-ledak dalam luapan semangat yang entah dari mana kudapatkan.
Semangat karena lelah, semangat karena tinggal 1 juri lagi yang harus kuhadapi,
semangat karena lapar dll. Dan kalimat itupun muncul, “Ok, nice interview”. “That’s
all?” tanyaku tak yakin. “Yeach, we
are only have 5 minutes interview actually” ujar beliau. “Well, OK” jawabku tak yakin. Namun aku
puas. Aku puas saat beliau tersenyum saat aku ceritakan bahwa Pak Cip
menitipkan pecinya untuk menemaniku dalam sesi wawancara ini. Aku puas saat
beliau dengan sungkan menolak perform
geguritanku karena waktu sudah tak memungkinkan. Dan aku puas karena
membuktikan bahwa pendapat teman-teman soal juri killer itu salah. Beliau baik, sangat baik bahkan. Kita tak kan
pernah tahu seseorang, sampai kita berbicara dengannya bukan? 1 Golden Ticket lagi Insya Alloh.
*
Juri ke 4. Juri terakhir. Aku
terseok menyeret tasku yang menggembung menahan beban file presentasi & kostum geguritanku. Beberapa teman tampak
melihat iba sekaligus heran mengapa aku begitu setia mebopong tas ini
kemana-mana. Kalau mereka tahu isi tas ini adalah properti panggung ala seniman
sriwedari, maka mereka pasti mahfum.
Tak hanya mahfum. Mereka pasti akan
berteriak-teriak tak terkendali demi melihatku sudi bersajak geguritan
menghibur kelelahan mereka sore ini. Lain kali sajalah kawan. Saat ini, aku mau
menutup hari ini dengan manis. Membawa 4 Golden Ticket demi tiket ke
Queensland. Menembus 6 besar. Menuju negeri Kangguru! Queensland tunggu
kedatanganku!!
*
Bertolak belakang dari ketiga
juri di awal, juri terakhir ini tampak berbeda. Berbeda karena ia adalah juri
termuda, paling ceria & paling bersemangat. Bahkan saat semua peserta sudah
tertunduk kuyu dihujani kuesioner khas ujian tesis!
Perempuan ini memang tampak muda,
terlalu muda bahkan untuk ukuran seorang guru. Perawakannya sedang, bahkan
cenderung mungil. Mirip temanku kuliah si Ratih, penulis handal yang sekarang
sedang sibuk meniti jalan-jalan kota Seoul mencari sumber inspirasi. Kuduga,
juri ini tak jauh berbeda dengan Ratih, cerdas, cerewet, selalu ceria, dan tak
mudah puas. Selalu haus akan tantangan demi tantangan. Alisku terangkat tinggi
manakala kuingat spesialisasi juri ini. Psikologi.
Menghadapi seorang psikolog itu
seperti menghadapi kamera CCTV. Anda tak bisa melihatnya, namun ia menyorot
anda bulat-bulat! Seperti juga juri yang satu ini. Setiap usai ia bertanya dan
mendapat jawaban dariku, tak lupa ia menyelipkan senyum kecilnya. Aku jadi
curiga, itu senyum tulus atau tidak? Aku tak tahu. Yang kutahu aku menjawab
setiap inci dari pertanyaannya dengan lantang, efektif dan jitu. Entah
menurutnya seperti apa. Mungkin juga jawabanku memuaskan, mungkin juga
sebaliknya! Seperti saat ia bertanya, “What
will you get from this trip to Queensland?, What is your goal? How if you
cannot gain it?”. Pertanyaannya pendek, terkesan formal, membosankan, mudah
ditebak & kurang serius. Namun aku melihat, disinilah kedahsyatan seorang
psikolog. Mereka memulai dari hal yang mudah, dan berakhir dengan kesimpulan
bahwa kita berpura-pura, bersandiwara, over
confidant & terkesan mau menjilat! Aargh,
aku tak bisa pahami logika seorang psikolog. Jika kita menjawab optimis, kita
akan dicap mengada-ada. Jika sedikit ragu, maka kita akan dicap tak punya
pendirian. Jika bilang tak tahu? Kita akan dicoret! Habis sudah. Mau apa lagi
coba?
Itulah mengapa, saat menghadapi
juri terakhir ini ruhku seakan dilolosi satu per satu. Kesombonganku luntur.
Idealismeku tercekat. Lidahku yang biasa presentasi 90 menit tanpa hentipun
mati rasa. Memang benar, musuh terakhir adalah musuh yang paling kuat. Rupanya,
panitia Semarang ini memasang jurus andalannya di sesi terakhir. Nasibku ke
depan tertoreh di sini. Maju atau mundurnya ditentukan sekarang. Bukan tadi
atau nanti. Aku jadi berpikir, mengapa aku tak langsung dapat juri ke 4 tadi?
Lapar perutku semakin menjadi. Konsentrasiku hilang. Bahan presentasi sudah
habis kupakai. Mati-matian aku mencari ilham. Aku mulai goyah.
Aku tertatih menyusun kata-kata.
Kupaksakan senyum dan kubulatkan mata tanda aku adalah peserta terbugar. Tapi
percuma. Bukankah aku menghadapi psikolog? Tapi tak apalah. Daripada menyerah
kalah, lebih baik kupaksakan berdiri tegak meski menahan perih puluhan hunjaman
luka. Ini sesi terakhir. Aku harus kuat. Mati-matian aku meyakinkan jiwaku yang
sudah terkulai lemah. 12 jam perjuangan sejak subuh. Masak aku berhenti disini? Aku tersenyum sinis pada mentalku.
Ajaib, semangatku yang tadinya kendur mulai bangkit. Nafasku mulai menderu. Aku
susun satu demi satu kesadaranku. Dan akhirnya wawancara itu usai. Juri ini
puas. Akupun puas. Tak ada yang terpikir dariku saat menjawab desingan
pertanyaan yang terlontar dari dirinya. Seakan tak sadar aku mengucapkannya.
Benarkah ini kalimatku? Ucapanku? Ideku? Ilhamku? Tidak. Ini semua dari Tuhan.
Tuhan yang berkehendak. Aku hanya hambanya yang kecil & lemah. Dia-lah Yang
Menyusun kata-kata itu untukku.
“Well, what is the something that can I get here is a question also.
What is definition of something here? Something is anything. Even here, in this
interview, I’m learning about something. I’m learning about you, I’m learning
about streets in Semarang, I’m learning about my friends here. Those
participants. Their behaviours. Their sense of humour...anything Miss..we can
learn about anything...anywhere....”
*
Aku terkulai lemah di jok mobil.
Pak Sarimo memacu mobil menembus macet kota Semarang. Aku tersenyum mengingat ekspresi
sang juri ke 4. Sang juri terkuat yang kuhadapi. Dia tersenyum tulus. Ya, tulus
sekali. Aku bisa membacanya dengan jelas. Senyum kepuasan serupa dengan sang
juri 1. Senyum yang akan menghantarkanku menuju Queensland Insya Alloh. Golden Ticket
ke 4. Semoga benar adanya. Telah kuraih sore ini. Amien. Aku tertidur pulas.
*
1 pekan berlalu sejak wawancara
di Semarang. Aku mulai sibuk bersama teman-teman merampungkan pendaftaran siswa
baru, sekaligus membantu persiapan wisuda Evin. Tak ada firasat apapun. Semua
berjalan seperti biasa. Sampai saat itu tiba.
*
Sabtu 11 Mei 2013. Jam 13.00
siang. Tanganku menggenggam erat kemudi mobil. Ketiga temanku tampak asyik
dengan lamunannya masing-masing. Jok belakang penuh dengan barang-barang
perlengkapan wisuda. Kami memang sedang
menuju hotel tempat wisuda malam ini. Evin sudah sejak pagi tadi berada di sana.
Pak Joko Pri yang duduk di sampingku tampak sedang melemparkan leluconnya, saat
tiba-tiba Hpku berbunyi pelan. Ada SMS masuk.
*
Jika ditanya bagaimana rasanya
pingsan, mungkin orang akan berbeda-beda menjelaskannya. Ada yang menggambarkan
sebagai cahaya putih yang menerjang dengan tiba-tiba. Ada yang melukiskan
seperti gelap yang menyergap dengan cepat. Ada juga yang mengungkapkannya
sebagai keheningan maha dahsyat yang membunuh dengan tanpa suara. Seperti aku
saat ini. Keheningan ini selaksa tidur yang absurd. Entah aku sedang bangun
atau sedang pulas dibuai mimpi. Rasanya tak percaya, impossible, mustahil.
Tapi, bukankah aku sering ceritakan pada siswaku, “The most impossible thing in this world, is the impossible itself”.
Tak ada yang lebih mustahil di dunia ini selain kemustahilan itu sendiri. Semua
hal adalah mungkin. Tak ada yang mustahil. Selama Tuhan berkehendak, maka
alampun akan tergerak mematuhi. Manusia bisa apa?
Dan berita SMS inipun membuatku
tersadar. Tuhan itu melingkupi segalanya. Saat kau berpikir kau lemah, Tuhan
ada di sana. Dan saat kaupun berpikir kau digdaya maka Tuhanpun ada disana. Tak
ada ceritanya kau meniadakan Tuhan. Tak ada satu jengkalpun tanah di bumi ini
yang tak meninggalkan jejak kekuasaan Tuhan. Semua berjalan atas kehendak &
iradat-Nya. Semua kelahiran & kematian selalu karena-Nya. Semua yang datang
& pergi adalah kehendak-Nya. Semua tangis dan bahagia, adalah kuasa-Nya.
Dan apa yang diputuskan padaku saat inipun, adalah keinginan-Nya. Maka akupun,
terduduk lemas di kursi mobil inipun juga sudah suratan-Nya. SMS ini, hanya
bagian kecil dari skenario-Nya. Sangat amat kecil. Aku serahkan hidupku, pada-Mu
ya Robb.
Hsl seleksi ke queensland sdh diumumkan, pak ari perinkat 14 nilai 80.peringkt
6 nilai 88. (teks asli SMS Pak Indri, Sabtu 11 Mei 2013 jam 13:37)
*
Senin 13 Mei 2013, aku telepon
pak Marsono di Magelang. Aku kabarkan berita Queensland kepada beliau. Beliau
lolos. Bahkan menduduki peringkat ke 2. Beliau sangat gembira & berucap
syukur. Siang harinya aku simak baris demi baris status beliau di Facebook. Satu demi satu rekan beliau
berucap selamat atas keberhasilan beliau. Di bagian atas, tampak surat hasil scan ku menjadi latar dari status
beliau. Ada nama-nama peserta yang lolos di sana. Memang surat tersebut segera
aku scan dan aku email ke beliau.
Agar berita gembira ini segera beliau terima di sana. Hatiku bergemuruh menahan
air mata. Aku harus kuat. Tak boleh menangis. Jika orang lain gembira aku juga
harus gembira. Aku paksakan menyunggingkan senyum. Selamat bapak. Selamat ya
teman-teman yang lain juga. Aku tunggu kabar & foto-foto Quensland via status-status Facebook kalian.
Pak Marsono dari SMAN 1 Magelang |
1 komentar:
tops pake bangetz... semangat akhi...
Posting Komentar