Rabu, 29 Februari 2012

GURU SI PITUNG VS GURU JAMES BOND


Sekolah Nasional Berstandar Internasional (SNBI) mulai digulirkan Pemerintah pada tahun 2006. Hingga kini, tahun 2012, sudah 1000 lebih sekolah RSBI dan SBI berdiri di Indonesia [tempo.com]. Konsep sekolah SBI & RSBI yang paling menonjol adalah program Bilingual & kelas multimedia berpendingin udara / Air Conditioner (AC).
Yang menarik untuk diperbincangkan mengenai program mercusuar Pemerintah ini adalah mengenai efektif tidaknya program SBI serta korelasinya dengan UU Sisdiknas.
Sebagai mana sedang ramai diperbincangkan oleh masyarakat, program SBI dirasa mulai bergeser tujuannya dari Sekolah Bertaraf Internasional menjadi Sekolah Bertarif Internasional, entah siapa yang mempopulerkan idiom ini, namun kenyataanya idiom tersebut sudah menjadi joke di antara orangtua siswa di seluruh Indonesia.
Pada kenyataannya sebenarnya tidak perlu menjadi perdebatan yang mubazir manakala program Pemerintah untuk mentransformasikan sekolah-sekolah di Indonesia menjadi sekolah berstandar Internasional tersebut dibarengi dengan sosialisasi yang fair serta melalui penjenjangan yang sabar & tidak terburu-buru, 
Sample kasus terakhir adalah penolakan orangtua siswa sebuah sekolah RSBI di Surakarta untuk membayar SPP bulanan sebesar Rp. 200.000/ bulan. Sang Kepala Sekolah berkilah bahwa langkah Manajemen Sekolah memberlakukan angka SPP baru di tahun 2012 tersebut sudah sepengetahuan Dinas Pendidikan setempat, apalagi menurut Beliau angka tersebut masih tergolong wajar untuk sebuah Sekolah RSBI.
Perwakilan orangtua juga tidak mau kalah, mereka berdalih bahwa kebijakan Top-Down tersebut tidak melalui sosialisasi terbuka. Alibi orangtua yang belum siap menghadapi ‘Tarif Internasional’? Silahkan ditafsirkan sendiri.
Persoalan berikutnya adalah mengenai Program Dwibahasa / Bilingual yaitu penggunaan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam pembelajaran di kelas. Untuk hal yang satu ini agak sulit untuk dikesampingkan karena semua negara di dunia sepakat untuk menggunakan Bahasa kaum Britania tersebut sebagai Bahasa rujukan Internasional.
Yang menjadi sumber benang kusut di Program Bilingual ini adalah minimnya angka partisipasi berbahasa Inggris aktif dari guru-guru di tanah air. Faktor tersebut berbanding lurus dengan tersendatnya transformasi materi dari guru kepada siswa. Alih-alih untuk membawakan materi pelajaran dalam bahasa Inggris, para guru Sekolah SBI/RSBI kini disibukkan dengan program Short Course Bahasa Inggris yang terpaksa menjadi agenda tambahan para Kepala Sekolah.
Kesibukan ‘dadakan’ untuk kursus cepat berbahasa Inggris itu sendiri tidak hanya menimpa para guru, para orangtua siswa yang anaknya ditempatkan di kelas-kelas Unggulan, Imersi maupun kelas Internasional juga harus mengeluarkan dana ekstra untuk me-leskan anaknya di Bimbel luar sekolah, hanya agar si anak tidak ketinggalan pelajaran Bilingual di sekolahnya. Pepatah jawa mengatakan Jer Basuki Mawa Bea, segala sesuatu memang membutuhkan pengorbanan.
Namun yang menarik adalah kasus yang terjadi di Kabupaten tetangga kota Solo, di sekolah RSBI tersebut materi pelajaran di pagi hari disampaikan dalam full Bahasa Inggris, namun siswa kembali masuk ke sekolah di sore harinya untuk mendapatkan ‘edisi terjemahan dalam Bahasa Indonesia’ dari pelajaran tadi pagi. Sebuah inovasi yang nampaknya dilatarbelakangi antara 2 hal: kebingungan atau keputusasaan sang Kepala Sekolah?
Kemudian beranjak ke persoalan kedua, yakni mengenai fasilitas. Sudah jamak diketahui bahwa sekolah SBI/RSBI menuntut dilengkapinya sarana prasarana yang modern & terkini. LCD proyektor, Ruangan ber-AC serta profil gurunya yang tiba-tiba latah untuk menenteng laptop kemana-mana seakan menjadi pemandangan umum di sekolah-sekolah tersebut. 
Sebenarnya konsep ruangan kelas yang ‘berbau’ komersil bukanlah hal yang baru. Ada kasus dimana sekolah (swasta) melelang kelasnya kepada para donatur. Misal kelas A disumbang oleh H.Abdul Qadir, maka kelas tersebut akan dinamakan kelas Abdul Qadir, yang kemungkinan akan bersanding dengan nama-nama semacam kelas Hj. Aminah atau kelas Prof. Mohamad Hata. Penulis tidak bisa membayangkan apabila kelas tersebut jatuh ke tangan para artis, mungkin kita akan menemukan sekolah dengan nama: kelas Azis Gagap, kelas Ayu Ting-Ting dll.
Kembali ke masalah fasilitas. Sebenarnya tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian sekolah SBI/RSBI tersebut berada di daerah, dalam artian tidak di kota besar. Maka bisa kita temukan sebuah cultural shock baru, tidak hanya bagi siswa, namun juga orangtua mereka. Mereka menjadi panik dengan tuntutan sang anak: Laptop baru buntut dari edaran sekolah (bahkan sampai ada juga sekolah yang menawarkan kredit Laptop). Di sekolah kami bahkan ada kasus dimana ortu siswa (berasal dari pedesaan di Madura), karena saking senangnya anaknya diterima di sekolah kami, mereka buru-buru menjual sapi harta keluarga meraka, demi untuk membeli Laptop terbaru untuk sang buah hati. Raut masam mereka segera tampak manakala kami menjelaskan bahwa di sekolah kami siswa dilarang membawa laptop!
Namun yang paling kentara dari sikap orangtua siswa sekolah SBI/RSBI adalah: mereka tidak terbiasa melihat angka-angka SPP yang membumbung tinggi. Disaat posisi mereka merasa terpojok seperti itu, dimana mau tidak mau mereka harus menuruti regulasi sekolah, maka tabiat pedagang mereka muncul: tidak mau rugi. Alhasil ekspektasi mereka pun dikatrol setinggi-tingginya. Mereka menuntut atmosfer Internasional di sekolah, menuduh sekolah belum siap menjadi SBI, menuntut guru-gurunya profesional, mensyaratkan anaknya menjadi pintar berbahasa Inggris dll. Ending cerita pun bisa ditebak: sekolah menjadi rentan terhadap teror dari wali siswa yang mengawasi mereka setiap harinya. Penulis kira kita semua sepakat, bahwa sekolah akan sulit berkembang manakala terlalu banyak intervensi dari wali siswa.
Masalah pengunder-estimatean biaya pendidikan di sekolah SBI/RSBI tentunya harus didiskusikan secara kepala dingin, bahkan lebih baik jika pihak sekolah dan wali murid duduk bersama untuk memecah kekakuan di antara mereka.
Tentunya perlu dijelaskan kepada orangtua siswa bahwa sesuatu yang baik (dalam hal ini pendidikan) belum tentu tidak boleh untuk dikomersilkan. Apabila pakem tersebut dipakai (kebaikan tidak boleh dikomersilkan) maka para penceramah kondang, guru agama, ustadz TPA serta pembaca Quran di hajatan pernikahan menjadi tertuduh yang pertama. Mereka bisa-bisa diberi stempel sebagai penjual agama. Mengkomersilkan kebaikan. Namun yang terjadi tidak demikian bukan? Karena sebuah kebaikan pun membutuhkan pengorbanan (biaya dll).
TEROBOSAN BARU
Tatkala sekolah SBI & RSBI bermunculan, sebenarnya mulai tahun 1995, sudah banyak sekolah Internasional (yang sesungguhnya) yang mulai masuk ke tanah air. Sekolah tersebut memang didirikan dari nol untuk menjadi sebuah Sekolah Internasional dan bukan merubah sebuah sekolah umum untuk disulap dalam semalam menjadi SBI/RSBI. 
Sekolah Internasional biasanya memakai tenaga kerja asing untuk ditempatkan di Indonesia. Mereka rata-rata berasal dari Amerika maupun Eropa. Dengan latar belakang bahasa ibu Bahasa Inggris, tentunya tidak ada kesulitan sedikitpun dari guru-guru asing tersebut untuk mengajar dalam Bahasa Inggris.
Guru-guru lokal sekolah Internasional tersebut juga diseleksi sejak dini dengan tes bahasa Inggris, micro teaching dll, sehingga sulit untuk menemukan angka partisipasi berbahasa Inggris yang rendah di antara mereka. Alhasil murid-muridnya pun fasih berbahasa bak bule bahkan ketika berkomunikasi dengan orangtuanya sekalipun ketika dirumah, mereka tetap memakai Bahasa Inggris. Kebanyakan yang menjadi siswa di sekolah ini antara lain anak-anak dari ekspatriat / duta besar negara asing yang kebetulan orangtuanya ditugaskan di Indonesia.
Kemudian masalah fasilitas, tentunya dengan sumbangan pundi-pundi wali siswa dalam range puluhan bahkan ratusan juta rupiah per siswa, maka tak heran Sekolah Internasional tersebut mampu membangun gedung yang megah serta fasilitas komplet di dalamnya. Bahkan ada Sekolah Internasional yang menyediakan ruangan Gym lengkap dengan alat-alat body building bagi para siswanya. Ada juga yang dilengkapi dengan private swimming pool, sarana Playstation bahkan meja biliar. Anda tertarik? 
Sekolah Internasional seakan menjadi tamparan telak bagi sekolah SBI/RSBI. Bagaimana tidak, dengan dukungan guru-guru asing, maka masalah pembelajaran Bilingual yang menjadi biang kerok kesemrawutan sekolah SBI/RSBI menjadi terpecahkan. Jika memang program Bilingual adalah program wajib di sekolah SBI/RSBI, maka bukankah lebih praktis & lebih efisien untuk mendatangkan tenaga kerja asing daripada menghambur-hamburkan uang, waktu & tenaga untuk menyulap (maaf) singkong menjadi keju dalam waktu semalam?
Namun, yang menjadi problem ikutan berikutnya adalah, sekolah-sekolah Internasional tersebut berstatus swasta, yang tidak mungkin terjangkau oleh siswa kurang mampu meskipun dia berprestasi.
Menjadi menarik adalah ketika melihat sepak terjang sebuah sekolah baru di Kabupaten Sragen Jawa Tengah. Mendapatkan rekor MURI tahun 2011 sebagai “Sekolah Termuda dengan Prestasi Terbanyak”, Sekolah tersebut dibangun dari nol untuk menjadi sebuah Sekolah Internasional namun yang mengejutkan adalah sebuah kenyataan bahwa sekolah tersebut berstatus negeri, dalam artian dibawah bimbingan langsung dari Pemerintah.
Sragen Bilingual Boarding School (SBBS), demikian nama sekolah yang berdiri pada bulan Maret tahun 2008 tersebut. Sebagaimana konsep dari sebuah sekolah Internasional, sekolah tersebut juga memiliki fasilitas ruang kelas & laboratorium yang modern, gedung yang megah & luas serta pengadaan tenaga kerja asing sebagai tenaga pengajar.
SBBS sendiri juga menjadi pilot project pertama di dunia, sebuah Sekolah Negeri yang memiliki guru-guru asing sebagai tenaga kerja tetap.
Untuk tenaga pengajar asing, beberapa sekolah SBI/RSBI memang telah menerapkan Native Visit secara reguler ke sekolah mereka. Namun yang disayangkan, para native tersebut kebanyakan berprofesi inti sebagai mahasiswa di Indonesia (hanya mengajar sambilan & ketika lulus harus kembali ke negaranya). 
Contoh lain, kasus yang merata di sekolah SBI/RSBI, mereka disibukkan untuk menjaring Sister School dengan Sekolah Internasional yang sudah ada karena kesulitan untuk menembus langsung jaringan luar negeri demi mendapat pun 1 orang guru native speaker.
Ada juga kasus soal norma ketimuran. Ada Sekolah SBI di Jateng yang mendapat bantuan seorang guru native perempuan dari Amerika. Namun kerjasamanya kemudian tidak dilanjutkan, karena sang guru suka untuk duduk di atas meja & mengajar sambil menggunakan (maaf) Tank-Top. Tentunya ini juga tidak sesuai dengan budaya kita.
 Berbeda dengan sekolah semacam SBBS dimana mereka sudah menjalin kerjasama dengan sebuah yayasan NGO: PASIAD yang berpusat di Istanbul Turki, sehingga stok pengajar mereka qualified & berlimpah, bahkan para guru asing tersebut memboyong keluarga bahkan orangtuanya untuk tinggal di Sragen, sehingga dedikasi mereka tak perlu diragukan lagi.
SBBS sendiri sebagai Sekolah Negeri juga mempunyai tenaga guru lokal & PNS. Atas otonomi yang diberikan, SBBS berhak menseleksi guru PNS maupun Non-PNS yang akan ditugaskan di SBBS. Langkah tersebut menjadi sebuah kritik yang menusuk atas kebijakan mutasi serta dropping guru PNS selama ini yang tidak melibatkan sekolah serta tidak memperhitungkan angka kebutuhan di masing-masing sekolah.
Dikarenakan berstatus Sekolah Negeri, maka sekolah ini juga tidak bisa main-main dalam mematok biaya pendidikan bagi para siswanya. Alhasil sekolah tersebut kini diklaim mematok biaya pendidikan 1/6 dari biaya pendidikan sekolah Internasional sejenis yang berstatus swasta. Sebagai contoh, jika di sekolah swasta A mematok SPP sebesar 3 juta rupiah per bulan, maka sekolah ini hanya memasang tarif SPP 500 ribu rupiah per bulan. Sebuah angka yang mencengangkan bagi orangtua yang sadar akan mahalnya kualitas pendidikan yang bermutu. Logika selanjutnya adalah orangtua siswa bisa mengalokasikan sisa anggaran 2,5 juta rupiah-nya / bulan untuk ditabung, membeli perlengkapan sekolah anaknya dll.
Dengan mengandalkan subsidi dari Pemerintah, maka sekolah ini mampu memberikan alternatif sebuah Sekolah Internasional yang murah & terjangkau. 
Sekolah tersebut juga menerapkan sitem pembiayaan yang unik, dimana setiap calon siswa baru akan dijelaskan besaran bea pendidikan all in per tahun (buku, seragam, laundry, asuransi, asrama, bimbingan olimpiade dll) sehingga orangtua siswa tahu betul besaran biaya yang harus dikeluarkan selama 3 tahun ke depan (tidak ada pungutan tiba-tiba di tengah jalan). Sehingga bisa dipastikan tidak ada protes dari orangtua siswa soal bea pendidikan.
Konsep sekolah seperti di Sragen inilah yang patut dikembangkan oleh Pemda, Pemkot maupun Pemprov di seluruh Indonesia (bahkan Kemendiknas) untuk memformat ulang konsep SBI/RSBI yang ada serta mampu untuk mengatasi persoalan yang timbul pada sekolah SBI/RSBI.
Untuk program Bilingual misalnya, murid yang kemampuan Bahasa Inggrisnya kurang, tidak perlu les di luar sekolah, namun sekolah menyediakan bimbel Bahasa Inggris dari luar untuk datang ke sekolah untuk menggenjot kemampuan berbahasa Inggris siswa. Program sekolah tersebut lazim disebut English Matriculation, dimana wajib bagi semua siswa baru untuk mengikuti bimbingan intensif Bahasa Inggris selama 3 bulan full di sekolah / tidak ada pelajaran lain selain Bahasa Inggris (program ini sekaligus sebagai pengganti MOS/OSPEK di sekolah). Output dari Program Matrikulasi ini menunjukkan bahwa siswa lebih mampu beradaptasi dengan guru asing serta Text book dari luar negeri setelah mengikuti kelas intensif tersebut. Alhasil program sekolah bertajuk Bilingual System dapat berjalan dengan lancar tanpa ada halangan yang berarti.
Dengan ditunjang Program Bilingual yang sehat, serta koneksi sekolah untuk menembus link panitia Olimpiade Internasional, maka tak heran jika sekolah tersebut dengan mudah berpartisipasi & menjuarai  Olimpiade tingkat Internasional setiap tahunnya. Padahal untuk bisa menjadi jawara di Kompetisi Internasional, para siswa dituntut untuk bisa mempertahankan proyek penelitiannya dalam Bahasa Inggris dihadapan juri-juri luar negeri, belum lagi ketika mereka harus berhadapan dengan kontestan dari negara lain.
Keterbatasan link dengan panitia Internasional-lah (selain juga masalah funding / pendanaan) yang juga membuat sekolah SBI/RSBI di Indonesia hanya puas untuk memarkir siswa-siswanya di perlombaan tingkat nasional saja. Sebenarnya ada juga link dari Kemendiknas untuk pengiriman kontestan ke Olimpiade Internasional, namun jumlahnya terbatas & persaingannya sangat ketat, dimana disinyalir kuota ini dimonopoli oleh sekolah-sekolah berduit di Ibukota saja. 
Program pendatangan guru asing juga jangan diartikan secara emosional sebagai usaha menyingkirkan guru lokal. Guru lokal tetap diperlukan untuk mendampingi guru asing dalam mengerjakan administrasi sekolah, konseling siswa dll. Sehingga partnership diantara guru asing dan guru lokal dapat berjalan dengan seimbang & profesional. Harmonisasi, bukan konfrontasi.
Program Bilingual juga tidak perlu diratakan ke semua mapel, hanya mapel Matematika, Sains, Bahasa Inggris serta komputer saja yang perlu didatangkan native speaker. Untuk mapel sosial cukup diampu guru lokal dengan pengantar Bahasa Indonesia (karena ada Sekolah RSBI di Jateng yang membawakan mapel Bahasa Jawa dengan pengantar Bahasa Inggris, kacau bukan?)
Secara umum Program Sekolah Internasional (yang sesungguhnya) sebenarnya sulit untuk bisa dikatakan sejalan dengan konsep sekolah SBI/RSBI yang digagas Pemerintah demi menciptakan Sekolah Internasional (yang setengah-setengah) di Indonesia. Mungkin juga sebenarnya Pemerintah sudah sadar untuk menarik guru-guru asing ke Indonesia, namun terkendala (ewuh pekewuh) dengan jumlah PNS guru yang jumlahnya sudah overload tersebut jika sampai ‘dirumahkan’. 
Alhasil Pemerintah mengambil jalan tengah: mencoba ‘mengorang-asingkan’ guru-guru Indonesia dengan jalan pintas. Kebijakan tersebut pada akhirnya terpecah menjadi 2 jalan cerita: ‘membunuh’ perlahan-lahan guru senior yang sudah angkat tangan untuk belajar bahasa Inggris dari nol sehingga mereka memilih untuk pensiun dini, atau menunggu keajaiban Tuhan supaya guru ‘si Pitung’ bertransformasi menjadi guru ‘James Bond’ dalam waktu semalam. Jalan cerita mana yang akan menutup cerita ini? Waktu yang akan menjawabnya.
Selamat berkreasi guru-guru Indonesia..Tetap Semangat!


Bersilaturahim dengan Guru-Guru MAN Insan Cendekia Serpong


Bulan Januari lalu saya mendapat kesempatan emas: berdiskusi dengan guru staff pengajar MAN (Madrasah Aliyah Negeri) Insan Cendekia (IC) Serpong Tangerang, tepatnya pada hari kamis 19 Januari 2012, saat mereka melakukan studi banding ke SMAN SBBS Sragen.
Dengan dipimpin ketua rombongan Eneng Uswatun MPd, 3 orang staff guru MAN Insan Cendekia tersebut berkesempatan untuk beraudiensi serta bertukar informasi dengan kami di SBBS.
Awal dari acara ini adalah permohonan dari MAN Insan Cendekia untuk mengetahui lebih mendalam sistem pendidikan di SBBS. Gayungpun bersambut, kami menerima permohonan mereka.
Seperti saat-saat sebelumnya, untuk agenda studi banding di SBBS, maka saya (selaku waka humas) yang bertanggung jawab untuk menghadel acara tersebut. 
sama dengan agenda penerimaan tamu studi banding sebelum2nya, kami membagi-bagi tugas untuk penerimaan tamu ini.
faktanya sebenarnya minggu tersebut agenda tugas kami sangatlah banyak, karena bersamaan dengan ujian blok siswa, presentasi calon siswa baru dll. namun alhamdulillah teman2 di SBBS sudah terbiasa bekerja instan. job des - pun kami bagi:
1. pak hari (supervisor) : mempersiapkan guest room (karena AVR -audio visual room- di pake untuk perform sunum/drama turki)
2. mas wawan (teknisi): pasang lcd, sound
3. bu danik (dapur): menyiapkan welcome drink, snack, lunch
4. mas imam (sekretaris humas): menyiapkan suvenir, attendance list, mc, antar jalan2
5. pak febri (IT): ngeprint sertifikat studi banding
6. pak cipto (kepsek): kasih sambutan mewakili General Manager yg berhalangan hadir
7. saya sendiri: presentasi program sbbs
pukul 9 (maju 1 jam dari agenda) acara kami mulai. mas imam menjadi mc & pk cip memberikan kata-kata sambutan
selanjutnya adalah pemutaran video pasiad (menceritakan seluk beluk & aktifitas yayasan Turki tersebut)
setelah pemutaran video selama + 15 menit, acara kami lanjutkan dengan presentasi power point sistem pendidikan di SBBS.
tampak 3 orang tamu saya dari Serpong ini tidak pernah lepas dari bolpen & kertas. mereka terus mencatat & mencatat. sy jadi ingat nasehat dr pak fandie kepsek SBBS lama: "people may forget but paper can not forget" meskipun saya sering bercandain beliau: "paper may lost, pak!" :) (di SBBS kami harus sering membawa buku catatan kemana2, karena saking banyaknya tugas yang diberikan lewat perintah2 lisan).

sambil saya mempresentasikan materi power point, guru2 di IC tersebut tampak antusias bertanya (dan mencatat). sayang, karena ini sesi studi banding dari mereka, maka mereka yang lebih banyak menggali info seluk beluk mengenai SBBS, sedangkan saya sendiri juga cukup penasaran dengan sekolah mereka tersebut.
Saya hanya bisa mendapatkan informasi singkat: bahwa siswa-siswa di MAN Insan Cendekia adalh full beasiswa, karena dibiayai oleh Kementrian Agama / Kemenag.
Guru IC juga sempat menjelaskan bahwa IC telah 3 kali berganti wajah: SMA Swasta, Madrasah Swasta (berasrama), & yang terakhir Madrasah Aliyah Negeri seprti sekarang.
Setelah puas beraudiensi (tentang sistem pendidikan SBBS, program pembinaan olimpiade, sistem pengelolaan asrama, serta program bilingual), rombongan tersebut juga berkesempatan melakukan observasi kegiatan belajar mengajar di SBBS serta melihat-lihat gedung sekolah & ruangan kelas SBBS.
Acara yang berlangsung dengan hangat & penuh keakraban tersebut pada akhirnya harus kami akhiri.setelah santap siang bersama, sholat dhuhur, maka kami menuju pendopo untuk tukar menukar souvenir serta sesi berfoto bersama.
demikian sekelumit pengalaman bersilaturahim dengan guru MAN IC Serpong, semoga di lain kesempatan kami bisa membalas kunjungan mereka. amin