Senin, 27 Mei 2013

Darah & Air Mata untuk Queensland Australia





Selasa 16 April 2013. Saya masih berjibaku di depan laptop saat sebuah nada panggil yang tak asing mengalun pelan dari handphone Galaxyku. Kutatap layar touchscreen-nya lekat-lekat. Ada pesan masuk dengan nama “Pak Indri Dinas” terpampang di sana. “Ada info apa gerangan? Tumben sekali Bapak SMS aku?”, cepat kubuka kotak masuk di folder message tersebut. “Mas Ari, ada program pelatihan guru singkat di Australi, kalau njenengan tertarik. Info lebih lengkap ada di dinas”
Wow, surprise sekali. Aku berjingkrak-jingkrak kegirangan. Dasar saya memang hobi gratisan, maka beasiswa ini langsung kuiyakan. Segera ku reply SMS beliau “Injih pak, ini saya berangkat ke Dinas”.
Kupacu motor supraku diantara deru angin dan debu kota Sragen yang beterbangan. Teriknya mentari musim kemarau ini terasa jelas menembus jaket bulu dari Jepang yang kupakai. Keringat mengucur deras. Tak ada waktu untuk melepas jaket. Terlambat sedikit saja, Bapak sudah pasti pulang & mimpiku terbang ke Australia bisa ikut menguap. Ayuh cepat cepat.
Sampai di pelataran Dinas Pendidikan Kabupaten Sragen, waktu menunjukkan sekitar pukul 11.00 siang. Fiuh Alhamdulillah belum terlambat. Segera kulepas jaket & bergegas menuju ruangan Pak Indri, yaitu Ruang Tenaga Kependidikan yang akrab disapa Tendik.
Beberapa staf Tendik tampak sibuk dengan tugasnya masing-masing. Kebanyakan mengetik & mensortir berkas. Ruangan ini memang tak pernah sepi. Lihat saja berkas guru yang menggunung hampir di setiap meja. Maklum, pemberkasan sertifikasi & kepangkatan guru memang dipusatkan di ruangan ini. Tak heran apabila guru-guru sangat menaruh hormat dengan para personelnya.
Kulirik meja di sebelah kanan pintu masuk, Pak Indri ada di sana, alhamdulillah Bapak ada di tempat. Satu hal yang kupelajari setiap bertandang ke Dinas Pendidikan adalah, orang dinas itu seperti emas yang terpendam. Kadang bisa mudah kita temui, kadang harus menunggu berjam-jam. Apalagi kalau datang terlalu siang. Bisa-bisa orang yang ingin kita temui sedang istirahat makan, sholat, atau tugas ke luar entah ke mana. Begitupun dengan Pak Indri. Syukur, aku dimudahkan bertemu beliau kali ini, dan tak ada antrian panjang seperti biasanya.
Setelah kucium tangan beliau dengan takzim, akupun duduk. Pak Indri segera menjelaskan isi SMS beliau. Beliau menjelaskan bahwa ada surat dari Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah yang menerangkan bahwa, Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah telah menjalin kerjasama dengan Pemerintah Negara Bagian Queensland Australia di bidang pendidikan & pelatihan guru. Dan pada tahun anggaran 2013 ini kembali akan mengirimkan 6 orang guru SMP/SMA/SMK yang telah lulus seleksi di Tingkat Provinsi untuk mengikuti kursus singkat di University of Southern Queensland (USQ) Australia.
Dan disurat itu pula ditambahkan, Dinas Pendidikan Kabupaten Sragen diminta mengirim 1 orang perwakilan / duta Kabupaten Sragen untuk mengikuti seleksi di Tingkat Provinsi pada hari Sabtu 27 April 2013 di Aula Ki Hadjar Dewantara Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah Semarang.

Pak Indri kemudian menjelaskan, bahwa beliau sebenarnya sudah menawarkan ke SMP 1 & 5 Sragen, namun tidak ada respon. Kemudian beliau berusaha menelfon Pak Mardi guru SMAN 1 Gemolong yang tak lain adalah rekanku MGMP Bahasa Inggris SMA Sragen. Pak Indri menambahkan: “Saya sudah coba hubungi Pak Mardi tapi HPnya tidak diangkat, mungkin sedang ngawas UN, trus saya ingat Mas Ari, makanya langsung saya SMS”. Saya manggut-manggut riang mendengar penuturan beliau. Memang hari itu bertepatan dengan penyelenggaraan UN SMA hari yang ke-2. Wah beruntungnya saya. Tahun ini saya tidak kebagian ngawas UN. Saya bersyukur dalam hati, memang kalau rezeki insya Alloh tidak akan lari.
“Kalau Mas Ari sanggup, saya buatkan surat tugasnya”, Pak Indri menatapku menunggu jawaban. “Sanggup Pak!”, ujarku mantap. Tak ada alasan untuk bilang tidak sanggup. Apalagi saya sudah gagal di seleksi Monbukagakusho Jepang, memang sih saya masih menunggu pengumuman beasiswa Singapore. Tapi tak ada salahnya tetap hunting beasiswa lainnya, paling tidak sebagai cadangan. Syukur bisa lolos dua-duanya. Amien.
Setelah menerima surat Diknas Provinsi untuk aku gandakan, Pak Indri menambahkan, “Surat Tugasnya bisa diambil antara Rabu-Kamis Mas Ari, karena menunggu tandatangan Bapake, dan berkas ini harus dikumpulkan di Semarang paling lambat 19 April Mas, tapi saya kurang tahu, apakah dikirim via pos atau harus dikirim langsung”. “Njih Pak siap, saya kan kirim langsung ke Semarang”, saya anggukkan kepala mantap. Aku harus serius, tak boleh mengandalkan jasa pos. Kalau terlambat bagaimana? Setelah itu saya bergegas pamit. Saya cium tangan beliau dan kembali ke sekolah di Gemolong.
***
Malam itu aku berjibaku dengan berkas-berkas pendaftaran. Aku sudah me-list daftar berkas yang harus disiapkan, antara lain: form biodata, Pas Foto, Surat Tugas Diknas Kabupaten, SK PNS, Ijasah & transkrip nilai, Surat Izin Kepsek, Pasport, TOEFL & Surat keterangan Sehat. Pagi tadi aku sendiri sudah ke Puskesmas untuk meminta Surat Keterangan Sehat. Beayanya murah karena memakai kartu ASKES, cuma tiga rupiah saja. Semua berkas ini harus sudah sampai di meja Kepala Sub. Bag. Program Diknas Provinsi Jateng paling lambat hari Jumat 19 April 2013.
Khusus untuk form biodata, aku explore sedetail mungkin data diriku: riwayat pekerjaan, pendidikan & latihan, pengalaman organisasi, pengalaman kegiatan, hingga pengalaman kunjungan ke luar negeri (Kuala Lumpur Malaysia).

Dua hari sebelumnya, ketika aku mengambil Surat Tugas di Dinas, Pak Indri menyelipkan pesan: “Saya dulu juga pernah ikut seleksi ke Jepang Mas Ari, tapi gak lolos, seleksinya diwawancara Bahasa Inggris, micro teaching & menampilkan bakat kesenian”. Hmmm berarti aku harus latihan nih. Maka sudah aku siapkan planning menghadapi wawancara tanggal 27 April tersebut. Maka aku tuliskan rencanaku untuk menghadapi wawancara itu. Targetku tidak hanya menjadi 6 besar peserta yang lolos ke Queensland. Aku harus peringkat 1. Titik! Aku sadar, kalau mau buat target harus maksimal. Jadi nomor 1! Jadi kalau lewat, minimal dapat nomor 2 khan? He he.
Rencanaku itu adalah:
1.       Membuat short description tentang Sangiran. Kenapa Sangiran? ya karena aku sebagai duta Kabupaten Sragen, maka sudah seharusnya aku mengangkat obyek wisata lokal. Yaitu Museum Purbakala Sangiran. Materi? bisa kita dapatkan dengan mudah di internet.
2.       Membuat materi micro teaching mapel Bahasa Inggris. Kali ini aku akan paparkan materi unggulanku: “Penyelesaian Soal Grammar Bahas Inggris dengan Pendekatan Matematik” mantap kan?
3.       Merangkum materi “Wawasan Kebangsaan”, siapa tau ada soal wawancara yang seperti ini.
4.       Khusus untuk kesenian, karena aku tidak mahir menari, menyanyi (waktu kuliah hanya backing vokal nasyid), ataupun main musik (waktu SMA pun Cuma bisa maen Drum), maka aku putuskan untuk menampilkan geguritan atau puisi Jawa. Untuk pelatihnya aku pilih Pak Joko Pri Guru Kesenian di sekolahku. Untuk kostum aku akan pakai baju lurik & blangkon. Perfect plan. Bismillah.
OK, semua siap. The battle begins he he.
***
Jumat, 19 April 2013. Toyota Avanza silver melaju bergoyang-goyang ketika melewati wilayah Kabupaten Boyolali. Jalanan disana memang kurang bersahabat. Aspalnya berlubang-lubang. Namun   itu tak menyurutkan puluhan truk pengangkut sayur & pasir, beserta mobil-mobil pribadi untuk melaluinya. Ini memang jalan alternatif menuju Semarang. Rutenya Gemolong-Boyolali-Salatiga-Tuntang-Ungaran-Semarang. 6 jam perjalanan PP harus kutempuh hari ini. Bismillah, kuatkan kami Ya Rabb.
Saat itu aku tenggelam di jok mobil yang menjadi langganan sewa sekolahku. Pikiranku melayang cemas, kedua tanganku berkeringat menggenggam erat berkas pendaftaran yang harus aku serahkan hari ini juga. AC mobil berhembus kencang. Tetap saja peluhku mengucur. Waktu menunjukkan pukul 06.00., sudah 1 jam lebih aku terguncang-guncang di dalam kotak beroda ini. Mas Kamto, sang driver tampak serius mengamati jalanan di depannya. Dahinya berkerut tanda sedang berpikir keras. 10 menit sebelumnya ibuku menelepon, lalu lintas Boyolali-Semarang macet 3 jam. Ini info dari tetanggaku di karanganyar langsung yang baru sampai dari Semarang. Allohu Akbar. Cobaan apalagi ini. Bibirku semakin kencang melafadzkan dzikir. Doa bepergian, ma’tsurat & dzikir lainnya silih berganti kulantunkan. Dan, disaat mobil memasuki wilayah Salatiga, Mas Kamto membanting setir ke arah selatan, kami masuk Jalan Lingkar Salatiga (JLS). Kami memotong jalan.
*
JLS ini masih baru, lapang & bersih layaknya jalan tol. Saya baca di koran proyek ini menyeret istri sang Walikota ke hotel prodeo. Ah itu bukan urusanku. Queensland yang paling penting, he he. Kuhapus bayangan seorang istri pejabat yang harus beradu dengan dinginnya lantai penjara. Aku nikmati pepohonan di pinggir jalan dan ruko-ruko setengah jadi yang tampaknya hendak menyasar para pengguna JLS dari luar kota. Pastinya itu akan menjadi restoran atau minimarket. Dasar orang Indonesia, ide bisnisnya muncul di mana saja.
Keluar dari JLS jalanan masih lumayan lancar, namun saat memasuki Bawen, kekhawatiran kembali muncul. Tampak di depan antrian mobil, truk, sepeda motor dan Bus menyemut meminta jalan. Ah proyek perbaikan jalan rupanya. Dalam hati berpikir, kenapa Pemerintah Provinsi membuat 2 kegiatan proyek sekaligus? Proyek Tol Semarang-Solo dan perbaikan jalan? Bukankah lebih baik selesaikan dulu tol-nya, barulah perbaiki jalan? Sehingga kemacetan bisa terurai? Argh lagi-lagi ini bukan urusanku, Let it be aja. Jalani & hadapi! Kamipun merayap dengan sabar.
Jam 08.00 tepat mobil memasuki pelataran Dinas Pendidikan Provinsi Jateng. Gedungnya megah, & terletak di kawasan elit Jl. Pemuda, bersama dengan sederet kantor pemerintah lain, Mall, Hotel dll. Alhamdulillah, mudah mencarinya. Tak perlu khawatir jika harus kesini lagi.
Sampai di dalam gedung, aku hampiri petugas keamanan yang sedang berjaga. “Lantai 2 Mas”, begitu jawabnya ketika kutanya letak kantor Program. Setelah mengucapkan terima kasih, pandanganku berputar, mencari anak tangga, tapi aku melihat 1 hal yang lebih menarik: Lift. Lift? Ya, sebuah lift di kantor Dinas Pendidikan. Ho ho ini baru surprise. Karena biasanya inovasi & teknologi melekat pada kantor pajak, bank ataupun mall. Tapi lift di Dinas Pendidikan? Wow, two thumbs up!
Di dalam Lift Diknas Provinsi Jateng

Keluar dari lift mataku mencari-cari plakat bertuliskan “Program”. 1 demi 1 ruang kulewati, dan ah ketemu! Mudah rupanya. Syukur deh. Masuk. Bismillah.
*
Bapak itu terlihat cukup berumur. Paling tidak usianya sudah berkepala 5. Tampak beliau sedang mensortir berkas-berkas. Akupun menghampirinya. “Selamat Pagi Bapak, saya dari Sragen, mau mengumpulkan berkas Queensland kemana ya?” . “Oh, kesini Mas!”, jawabnya ramah. Aku melirik ke atas meja, rupanya sudah ada beberapa applicants yang mendahuluiku mengumpulkan berkas. Aku bertanya lagi: “Untuk materi wawancaranya apa ya pak?”, tanyaku pendek sambil menyerahkan berkasku. Untuk beberapa saat, Bapak itu tampak berpikir & kemudian memanggil rekannya, yang kemudian datang menghampiriku.
Dia seorang perempuan, umurnya mungkin sebaya denganku. Aku ulangi pertanyaan itu untuknya. Dengan sopan, beliau memintaku duduk di ruang tamu seraya bergegas mengulangi pertanyaanku kepada salah satu rekannya. Setelah itu beliau menelpon seseorang. Menanyakan hal yang sama. Pikirku, mungkin tanggung jawab teknis wawancara ada di Ketua Program, sehingga tak semua staf mengetahui teknis materi soalnya.
Benar saja, setelah menelpon sang penanggungjawab, beliau menghampiriku. Aku keluarkan bolpen & notes. Siap mencatat. Ini emas, jangan sampai terlewatkan. Inilah manfaatnya datang langsung ke panitia, kita dapat mengorek keterangan lebih dalam. Jika hanya lewat telfon atau bahkan mengirim berkas via pos pasti akan sulit mendapatkan informasi berharga ini. Dan kamipun akhirnya bertanya jawab.
T (tanya)    : “Kursusnya nanti berapa lama Mbak?”
J (Jawab)  : “sekitar 3 bulan”. Wow lama juga ya.
T              : “Materi tes apa saja Mbak?”
J             : “Wawancara saja, ada kepribadian, kebudayaan, pariwisata, Bahasa Inggris praktis & mengajar, nanti bergantian tesnya. Satu-satu”. Oh, ternyata prediksi Pak Indri tepat.
T              :  “Pembiayaan bagaimana?”
J              : “Nanti seluruh akomodasi, makan, hotel, pesawat ditanggung. Tapi uang saku hanya untuk 3 hari, sesuai indeks”. Uang saku cuma 3 hari? Wadow.
T               :  “Ada yang lain?”
J              : “Visa & cek kesehatan ditanggung sendiri, visa sekitar 2 juta, untuk General Check Up saya kurang tahu” . General Check Up? Terakhir aku General Check Up di RSUD Sragen, beayanya 300 ribu sewaktu lolos tes CPNS dulu. Insya Alloh murah lah.
T          :  “Sudah berapa peserta yang mendaftar?”. Aku harus berhitung cermat, semakin sedikit kompetitor maka peluangku semakin besar. 
J           : “Sekitar 10, ada juga yang tadi baru nelfon, surat baru sampai ke kami besok. Ya tidak apa-apa. Sabtu kita kumpulkan semua, senin baru kita olah”. Oh begitu, OK deh. Kalau 10 orang aku optimis, karena peluang masuk 6 besar sangat besar.
T               :  “OK terima kasih Mbak”.
J               : “Sama-sama”.
Akupun pamit dengan segudang asa menggelegak di dadaku. Yes, aku siap. Aku beranjak keluar dari ruangan tersebut, kulihat ada anak tangga disebelah timur. Aku urungkan niatku, aku mau mencoba pakai lift lagi. He he.
Sampai diluar segera kuajak Mas Kamto pulang ke Gemolong, namun belum 5 menit jalan ketika melewati Gedong Lawang Sewu, suasana tampak ramai. Rupanya hari ini bertepatan dengan Rapimnas PKS. Wah berarti nanti akan banyak pejabat Jakarta & menteri-menteri yang hadir. Aku ini sangat hobi berfoto dengan tokoh nasional, tak peduli mereka dari partai apa. Terakhir, di CFD Sragen, aku bisa berfoto bersama Ganjar Pranowo, anggota DPR pusat dari PDIP yang mencalonkan diri menjadi calon Gubernur Jateng. Kali ini, aku ingin berfoto dengan Hidayat Nur Wahid, minimal Anis Matta lah he he. Setelah berputar mencari pintu masuk maka akupun kecewa. Pintu belum sepenuhnya dibuka. Satgas & panitia PKS pun baru segelintir yang nampak, ini berarti acara belum dibuka & kemungkinan siang atau malam baru dibuka. Maka aku urungkan niatku. “Kita terus Mas”, aku mengkomando Mas Kamto yang nampak ragu juga untuk masuk. 
***
Hari-hari berikutnya aku sudah tersibukkan lagi dengan tugas sebagai Humas di sekolahku. Sekolahku memang unik, disini, Pendaftaran Siswa Baru (PSB) menjadi tanggung jawab Humas. Tak ayal aku pontang-panting melakukan presentasi ke sana sini. Melobi sekolah-sekolah favorit untuk bisa mengirimkan siswanya mengikuti seleksi menjadi siswa baru di sekolahku. Disini pendaftaran siswa baru menggunakan sistem One Day Service. Pendaftar yang tertarik bisa langsung datang bersama orangtua untuk mengikuti tes tertulis & wawancara. Efeknya, hampir setiap hari aku menerima tamu dari dalam maupun luar kota untuk mendaftar tes. Tak jarang kegiatan itu membuatku stuck dari pagi sampai sore. Gak bisa kemana-mana. Tapi ini tugas, aku harus profesional, maka aku harus pintar membagi waktu. Disela-sela kesibukan, dan berlanjut lembur di malam harinya, aku sempatkan download materi-materi yang kubutuhkan dari internet. Strategi sudah matang, saat wawancara aku akan paparkan materi sekaligus hardfile sebagai supporting evidences. Dan materi-materi itu alhamdulillah bisa kuselesaikan tepat pada waktunya. Semua terjilid rapih, dan masing-masing ada peruntukannya:
a.       Makalah penelitian Bahasa Inggrisku untuk wawancara micro teaching
b.      Makalah Museum Sangiran untuk wawancara kebudayaan & pariwisata
c.       Kliping kunjungan ke Kuala Lumpur & Home Visit Humas untuk wawancara kepribadian
d.      Performance Geguritan untuk wawancara kesenian
e.      Brosur sekolah untuk seluruh panelis, sekaligus promosi
Sebenarnya aku sempat berpikir untuk membeli beberapa cinderamata khas Sangiran. Maksudku, untuk bukti riil, siapa tahu pihak Queensland tertarik dengan souvenir tersebut. Tapi karena kendala waktu, aku urungkan niatku. 
Untuk performance geguritan, spesial aku melobi Pak Joko Pri, Guru Kesenian sekolah untuk kerso melatihku tampil geguritan. Alhamdulillah beliau bersedia bahkan sangat antusias. Di sela-sela Pak Joko Pri menjadi Pengawas UN, beliau berdiskusi denganku, materi apa yang cocok kiranya untuk kutampilkan. Sempat kuutarakan, aku ingin materi geguritan yang mengkisahkan pemuda patah hati. Sudah kubayangkan aku akan menagis sesenggukan ketika tampil. Karena sudah jamak apabila seorang seniman tampil totalitas di atas panggung, menangispun mereka jalani. Tapi kemudian aku berpikir, apa nanti komentar istriku? Jangan-jangan dia berpikir aku patah hati sungguhan. Ha ha.  Aku sendiri secara pribadi memilih geguritan bukan tanpa alasan. Alasan pertama, aku punya basic vokal & lulus diklat Teater. Alasan kedua, aku Duta Jawa Tengah, maka aneh jika aku tampil menyanyikan lagu Rock. Alasan ketiga, Indonesia dikagumi karena budaya & kesenian daerahnya, dan aku yakin performanceku ini akan bisa cetarr membahanaaaa di hadapan bule-bule Ostrali ha ha.
Setelah googling kesana kemari, akhirnya aku dapatkan materi geguritan yang cocok dan pas dengan level suaraku. Rasanya enak aja melantunkan geguritan ini. Nafaskupun pas, tidak terengah-engah disetiap akhir baitnya. Judul geguritan itu adalah: “Ambengan Sego Kuluban

Ambengan Sega Kuluban

Ambengan sega kuluban dieler ing tampah
diladekake ing pasamunan
direncah bebarengan, kroyokan, rebutan

ambengan sega kuluban
oora ana sing ngerti duweke sapa
kejaba dadi pangane wayang , para dhalang
sing lagi lungguh methingkring

(kidang lan trewelu, kinjeng lan kupu mung bisa nyawang sinambi ngeleg idu)

ambengan sega kuluban, wis gusis dienggo pesta
mung kari tampah ngganda amis, angganda amis
banjur kanggoo bal-balan para buta!

Ambengan Sego Kuluban” sendiri terjemahan bebasnya adalah Nasi Kenduri. Dimana Nasi disini mengibaratkan pangkat / jabatan. Geguritan ini sebenarnya semacam kritik sosial dimana rakyat sudah jenuh dengan perebutan kekuasaan / jabatan dengan menghalalkan segala cara. Rakyat sendiri selama ini hanya menjadi penonton, dimana kekuasaan (wayang) sedang dimainkan oleh para penguasa (dalang). Dan pada akhirnya pertarungan berebut tahta itu sendiri tidak menyisakan apapun untuk rakyat (wis gusis dienggo pesta, mung kari tampah ngganda amis, angganda amis ). Rakyat (kidang lan trewelu, kinjeng lan kupu) hanya bisa menonton tak berdaya (mung bisa nyawang sinambi ngeleg idu).
Latihan geguritan bersama Pak Joko terasa menyenangkan. Ternyata beliau sudah siap dengan sinkronisasi backsound musik. Jadi skenarionya, aku acting di depan juri, sementara itu backsound musik akan mengalun dibelakangku. Tentunya nanti di lokasi tes aku harus prepare laptop & mini speaker.
Ternyata bermain dengan iringan musik bukan perkara yang mudah. Berkali-kali momentumku tidak pas. Saat geguritan mencapai klimaks, aku berteriak marah penuh ekpresi..eh musiknya malah mendayu-dayu. Demikian juga sebaliknya, saat ekspresiku mendatar bahkan cenderung melo, si backsound malah berteriak mengeluarkan nada tinggi menghentak-hentak. Alhasil latihan hari itu harus diulang dan diulang lagi. Pak Joko tidak mau setengah-setengah. Harus perfect. Beliau memang luar biasa.
Akupun berlatih dengan penuh ekspresi, beberapa rekan yang memergokiku berlatih di Ruang Humas ternganga tak percaya. “Kowe ngopo Jerr?” tanya mereka terheran-heran. Memang program ke Queensland ini hanya aku share ke beberapa orang saja. Jadi teman-teman lainnya surprise saja ketika melihat aku seperti bermain kethoprak. Kenapa seperti kethoprak? ya, karena selain tak biasa mendengarku berteriak-teriak dengan bahasa Jawa, aku juga memakai pakain lurik Jawa lengkap dengan blangkon ikatnya. Properti itu aku pinjam dari salah satu siswaku, Zulfikar Ali. Yang unik dari baju lurik tersebut adalah aromanya yang seperti karet terbakar. Sudah dicuci berulang kali, ditambah pewangi & parfum, tapi tetap saja baunya menusuk hidung ha ha.
Jaka Tarub siap tempur He He

Akhirnya setelah berlatih sekian kali, lengkap dengan properti surat kabar & kursi kayu, serta mengedit bagian backsound yang kurang pas, akhirnya latihanku selesai. Aku siap aku siap!
*
Hari itu, H-1. Di Sekolahan, aku berbincang santai dengan Kepala Sekolahku, Pak Cip. Aku sampaikan kepada beliau, bahwa esok aku akan menghadapi ujian wawancara di Semarang. Beliau sangat senang & menaruh harapan besar terhadapku. Nasehat demi nasehat mengalir dari bibir beliau. Aku sangat menghormati beliau ini. Di usianya yang sudah berkepala 4, beliau masih bersemangat dalam kegiatan sekolah, terkadang harus bolak balik ke Jakarta juga. Menerima tamu, melakukan presentasi, bolak-balik ke Dinas untuk segala tetek bengek pekerjaan, Jarak sekolahku dengan Dinas Pendidikan Kabupaten hampir 1 jam perjalanan. Bahkan, terkadang beliau bolak-balik sampai 4 kali dalam sehari. Yang luar biasa adalah, beliau tak pernah naik mobilke sekolah. Satu-satunya kepala sekolah yang mau naik motor kemana-mana. Bukannya tak punya mobil, beliau punya 1 mobil Suzuki di rumahnya. Hanya, beliau lebih enjoy naik motor. Lebih manly mungkin. Jenggo istilahnya ha ha. Itulah kepala sekolahku yang unik. Tapi semua orang di sekolah ini menaruh hormat padanya, bahkan guru-guru asing disini juga menaruh hormat pada beliau.  Beliau memang tegas, namun kalau sedang baik hati, mulut kita bisa ternganga tak percaya. Contohnya hari ini, saat aku berpamitan kepada beliau, aku jelaskan bahwa besaok aku akan mengenakan batik PGRI. Maka beliau dengan runtut menjelaskan bahwa aku tak boleh lupa memakai ID Card, bros PNS dan peci! Peci? Hadeuh, masak wawancara mau pakai peci? “Pakai peci mas. Harus komplit. Ini pakai peci saya kalo ndak punya”, ujar beliau sambil menyodorkan sebuah peci beludru warna hitam pekat. Akupun membungkuk menerima peci dari beliau dengan perasaan mengharu biru. Terimakasih Bapak. Saya tak akan mengecewakan Bapak. Begitu janjiku dalam hati. 
***
Sabtu, 27 April 2013. Hari H. Hari persidangan. Sudah sejak pukul 02.00 dinihari aku bangun. Malam begitu cepat berganti pagi, sehingga aku tak sadar. Sepertinya baru beberapa saat yang lalu menutup mata, eh ini sudah hampir subuh. Semua properti sudah ready. Hari ini aku akan memakai batik PGRI warna putih. Selain lebih official, setiap hari Sabtu, guru PNS di Sragen diwajibkan memakai batik ini. Istriku sudah menyiapkan semuanya, so aku tinggal berangkat saja. Targetku, aku sholat subuh di Salatiga. Dari luar kudengar deru suara mobil jemputan yang datang, segera kupindahkan Rafa yang sedari tadi bergelayut manja digendonganku kepada bundanya. Aku berlari ke kamar mandi.
Malam itu aku ditemani Pak Sarimo, karena Pak Kamto ternyata harus mengantar siswa sekolahku ke Malang. Aku sebenarnya lebih prefer Pak Kamto karena aku yakin dia lebih menguasai jalanan menuju Semarang, tapi aku pasrah saja. Bismillah.
Beliau, Pak Sarimo ini sudah sepuh, mungkin driver paling senior diantara yang lain. Rambutnya memang beberapa sudah memutih, tapi ditambah lintingan kumis lebatnya beliau tetap terlihat sigap di belakang kemudi. Kami melaju menembus malam dengan tanpa suara.
*
Target tercapai, kami bisa sholat subuh di Salatiga menjelang pukul 05.00, taklupa ibuku berkirim SMS mengecek loaksi terakhirku. Beliau juga khawatir, andaikan aku terlambat sampai di Semarang. Alhamdulillah jalanan masih sepi pagi itu, meskipun jalanan yang terkena proyek masih diperbaiki, kami tetap bisa melaluinya dengan lancar, bahkan tanpa perlu berputar melewati JLS. Pak Sarimo memang driver yang berpengalaman.
*
Sampai di lokasi ternyata pintu gerbang Dinas Provinsi masih setengah tertutup, aku cek penunjuk waktu di HP Galaxyku. Ternyata masih pukul  06.37. aku kepagian ha ha. Tapi ini modal berharga, aku peserta pertama yang hadir, meskipun seragam batik PGRI masih tergantung rapi di dalam mobil. Bergegas aku masuk ke dalam gedung, penasaran dengan denah lokasi wawancara. Info dari Pak Adi, sekretaris Kepala Sekolahku, gedung Dinas Provinsi memanjang ke belakang, sehingga banyak bangunan & ruang disana. Aku harus menemukan lokasi wawancara sesegera mungkin.
Di dalam aku berpapasan dengan beberapa petugas jaga. Nampaknya mereka petugas security yang mendapat giliran shift malam. Sebentar lagi, pada pukul 07.00 mereka akan digantikan oleh rekan mereka, dan merekapun bisa balas dendam dengan tidur seharian di rumah. Akupun menanyakan lokasi wawancara kepada mereka.
Ternyata aula Ki Hajar Dewantara terletak di selatan gedung utama. Akupun naik ke lantai 2 tempat wawancara. Kulihat pintu kacanya masih tertutup rapat. Di dalam ada deretan meja kursi yang membentuk huruf U. Seperti ruang seminar saja. Bagaimana nanti bentuk wawancaranya? Aku bertanya dalam hati.
Ruang Wawancara

Puas melihat-lihat lokasi wawancara, aku beranjak turun. Di bawah aku bertemu dengan seorang bapak-bapak yang nampak letih karena perjalanan jauh. Tutur katanya lembut & ramah. Belakangan aku tahu, beliau adalah Bapak Badyani, guru SMPN 1 Kebumen. Beliau berangkat dari Kebumen jam 02.00 pagi tadi dengan travel. Petugas jaga yang tanggap beliau datang jauh, segera menawarkan beliau untuk mandi. “Kalau mau mandi, itu ada kamar mandi sebelah timur gedung Pak, sampeyan lurus saja terus belok kiri”. Pak Yanipun mengangguk riang dan segera bertolak kesana membersihkan diri. Akupun berinisiatif keluar cari makan. Perutku keroncongan minta diisi. Sebenarnya malas juga mau makan, pikiranku fokus ke wawancara, tapi bila aku lewatkan sarapan, magh-ku bisa kambuh. OK aku makan dulu saja.
 Sarapanku saat itu tak bisa kunikmati. Aku malah sibuk melahap berita pagi Jawa Pos yang disediakan warung makan ini. Warung ini lumayan bersih, letaknya sekitar 300 meter barat Gedung Dinas Pendidikan. Didepan meja makanku tampak menjulang Gedong Lawang sewu yang terkenal itu. Nasi ramesku masih mengepul ngepul belum kusentuh. Aku tak berselera. Padahal lauknya komplit. Ada nasi, sayuran, telor dadar dan kerupuk. Disebelahku, Pak Sarimo tampak asyik dengan Soto Semarangnya. Aku harus makan walau sedikit, pikirku.
Nasi Rames saat di Semarang
  
*
Kembali ke lokasi ujian, ternyata peserta sudah ramai. Wawancara masih 1 jam lagi. Maka aku beranjak menuju mushola di belakang Aula. Aku benamkan diriku dengan sholat dhuha. Memohon hasil yang terbaik.
Setelah mantap dalam doa, aku bergegas ke mobil untuk berganti pakaian. Tak lupa kusemprotkan Axe Chocolate favoritku berulang-ulang. Hmmm wangi. Kuhirup nafas dalam-dalam. Semua file dalam tas aku periksa dengan teliti. Baju lurik Jawa & blangkon ikatnya sudah terlipat rapi juga di dalam tas. OK aku siap. Bismillah. Taklupa kumohonkan doa dari Pak Sarimo. Amien.
*
Antrian itu cukup panjang, rupanya pesertanya jauh melebihi angka 10 peserta. Setelah membubuhkan tandatangan di nomor 14 yang terpampang namaku, ternyata kami mendapat uang transportasi. Kubaca angka yang tertera di amplop putih tersebut. Rp. 95.000, aku tersenyum sambil menyematkan nomor peserta di seragam batikku.
Sempat kaget juga ketika seorang panitia menyatakan berkasku kurang lengkap. Aku protes, “Sudah semua Pak”. “Surat izin kepsek belum ada Mas”, begitu ujar mereka. Panik, aku periksa form pendaftaranku, form ini sudah kujilid rapi, jadi tak mungkin tercecer. Kecuali, jika memang belum ikut terjilid. Aku segera bongkar isi tasku, file demi file kukeluarkan, sampai akhirnya...ahh ternyata berkas aslinya terlewat tidak kujilid. Berbegas aku serahkan berkas susulanku tadi. Fiuh syukur.
Tercatat ada 35 peserta perwakilan Kabupaten Kota se-Jawa Tengah yang hadir pagi ini.mereka adalah wakil terbaik masing-masing daerah. Tiap orang membawa nama baik & gengsi dari masing-masing wilayah. Tak ada yang mau datang jauh-jauh hanya untuk kalah. Mereka ada yang datang dari Wonosobo, Tegal, Pekalongan, Magelang, bahkan Cilacap! Dan mereka tampak well prepared. Wow pertarungan ini takkan mudah, tapi, aku siap!
Sampai didalam kami duduk bergerombol. Ada yang bergerombol di sebelah timur. Kebanyakan ibu-ibu, sisanya, bapak-bapak lebih memilih berkumpul di sebelah barat. 
 
Peserta menunggu acara dimulai (Pak Ujang duduk paling kiri) 
Tak ada yang berani duduk di kursi utama yang berjejer melingkar di tengah ruangan. Akupun duduk menyebelahi Pak Yani. Beliau yang terlebih dahulu kukenal, dan secara insting, aku nyaman ngobrol dengan beliau. Kami ngobrol sambil menikmati snack dari panitia. Tak lupa kami sesekali menyelidik kontestan lain, rupanya banyak juga yang saling mengenal meskipun berbeda kota. Rupanya mereka masih satu MGMP. Aku merasa terasing nih. Fiuh. Tak lama beberapa staf Diknas memasuki ruangan, acarapun dimulai.
*
Acara itu dibuka dengan perkenalan dan sambutan dari Bapak Ketua Program. Orangnya masih cukup muda, sekitar 40 tahunan, terlihat enerjik, casual, dan humoris. Di beberapa momen malah aku menangkap beliau agak genit, terutama pada ibu-ibu ha ha. Maaf kalau saya salah menginterpretasi. Mungkin, beliau hanya mencoba bersikap ramah, itu saja.
Beliaupun memperkenalkan ke empat dewan Juri. Yang saya ingat, 2 orang adalah guru SMP & SMA di Semarang, sementara 2 sisanya adalah Dosen UNNES & UNDIP. 1 laki-laki & 3 perempuan.
Bapak Ketua Program memaparkan, bahwa program kerjasama Diknas Provinsi Jateng dengan USQ Queensland ini sendiri sudah berlangsung sejak tahun 1993, dimana tahun 2013 ini adalah penyelenggaraan yang terakhir untuk MOU tahun 2011-2013. Diharapkan tahun-tahun sesudahnya program ini dapat terus berlangsung.
Beliau juga menjelaskan, apabila terpilih ke Queensland, hendaknya jangan lupa pulang, karena ternyata ada peserta tahun kemarin yang tidak pulang, begitu kata beliau sambil tertawa. Aku sendiri kurang paham mengapa sampai ada peserta yang belum pulang ke Indonesia. Mungkin maksudnya mereka lanjut studi S2. Atau bahkan menikah dengan orang sana & menetap disana, entahlah.
Selesai ketua Program menjelaskan acara, sesi diambil alih oleh panitia. Kami dijelaskan bahwa 35 peserta akan dibagi ke dalam 4 kelompok. Dan masing-masing kelompok bergantian presentasi di depan juri. Pembagian nomornya sebagai berikut:
Nomor urut 1 - 9 : dengan penguji 1
Nomor urut 10 - 18 : dengan penguji 2
Nomor urut 19 - 27 : dengan penguji 3
Nomor urut 28 – 35 : dengan penguji 4
Karena aku nomor 14, maka aku akan menghadapi penguji 2 dahulu. Fiuh Bismillah ya Alloh mudahkanlah kami. Amien.
Kamipun keluar dari ruangan & menunggu panggilan. Taklupa aku kabari setiap perkembangan di lokasi ujian ini kepada istriku di rumah via whatsapp. Aku memang sengaja membeli sepasang HP Galaxy android ini supaya kami bisa leluasa berkirim pesan. Karena aplikasi yang bisa diunduh gratis dari Google Play ini bisa digunakan sepuasnya / unlimited dengan cara berlangganan paket data. Bila mengandalkan SMS terus bisa jebol tabungan kami. Maklum, meskipun sudah hampir 9 tahun usia pernikahan kami,, kami masih sering berkirim pesan setiap menit layaknya penganten baru he he.
Peserta menunggu panggilan wawancara

Tak berapa lama salah seorang panitia sibuk membagikan kuesioner kepada peserta. Isinya ada 20 soal yang berisi lebih ke kualifikasi pribadi kita sebagai seorang guru, juga beberapa pertanyaan mengenai team work & sedikit diuji pengetahuan kita soal Queensland & USQ. Untungnya aku sudah mengantisipasi pertanyaan ini dengan melakukan Googling di internet beberapa hari sebelumnya. Gampang lah. Sambil asyik mengerjakan kuesioner & berbalas whatsapp dengan istriku, tampak seorang panitia berteriak-teriak memanggil peserta.
Seorang panitia kembali memutari peserta. Kali ini beliau membawa kotak berisi pin / bros. Ya, pin atau bros itu mungkin semacam kenang-kenangan bagi peserta wawancara. Ukurannya sekitar 2 cm. Berwarna merah putih dengan latar gambar anak-anak SD berpakaian nerah putih pula. Di bagian atasnya, terpampang tulisan setengah lingkaran berbunyi: “Aku Bangga Indonesia Tanah Airku”. Hmm sangat berwawasan kebangsaan sekali. Memang, meskipun kita nanti tinggal di negeri orang, jati diri kita sebagai bangsa Indonesia harus tetap kita jaga & tak boleh luntur. Akupun menggenggam pin itu erat-erat. 
“Peserta nomor 1 ke penguji 1”. Tampak salah seorang peserta bangkit dari duduknya & bergegas menghampiri ruang ujian dengan wajah yang lumayan tegang. Kami yang duduk mengantripun tertular ikut tegang. Ah Nomor 14 masih lama, pikirku. Kemudian panitia melanjutkan,
 “Peserta no 10 ke penguji 2”. Tak ada respon. “Nomor 10!!”, kali ini dia memanggil lebih keras. Masih juga tak ada respon. Penasaran akupun ikut menyelidik, ini peserta bandel banget sih, baru mau ujian aja dipanggil gak denger-denger. Atau mungkin sedang ke WC? Entahlah. Saat ini semua orang tegang. Pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka bukan ide yang buruk. Aku kembali menekuni soal di hadapanku.
Suara itu muncul lagi, “Nomor 10!!”, tidak ada jawaban lagi. Kepalaku kembali berputar mencari ada peserta yang mungkin tiba-tiba berdiri & sambil pucat pasi meminta maaf karena tak sadar dipanggil sedari tadi. Tapi tak ada yang bergerak. Semua peserta masih duduk sambil berkutat dengan kuesioner. Akhirnya peserta no 11 dipanggil. Seorang wanita berdiri dan bergegas masuk ruang pembantaian.
Belum habis pandanganku mengikuti peserta no 11 tadi, tiba-tiba salah seorang peserta menunjuk ke arahku & berkata, “Lha itu Masnya nomor 10”. Hah!!, JEGERRRR , aku bagai tersambar petir. Keheningan yang menusuk merayapi kaki hingga kepalaku.  jangan bercanda friend, teriakku dalam hati. Tapi tak ayal aku pucat pasi, perasaanku campur aduk antara kaget & malu. Apa benar aku nomor 10? Bukannya nomor 14 sesuai absen?  Semua peserta memandangiku, beberapa lagi tertawa. Mukaku panas & memerah pastinya. Aku sigap membaca nomor dadaku lekat-lekat. 10. Mati aku. Ternyata aku nomor 10!
Tak ada suara yang bisa keluar dari bibirku. Mataku bergerak lurus menatap sang panitia. Sengaja kubuat sayu meminta belas kasihan & permohonan maaf. Bisa aku bayangkan, sebentar lagi aku akan digampar panitia. Dan di hari pertama ujian pula!. Habislah sudah cita-citaku. Aku sudah siapkan telingaku untuk mendengar makian terkeras sekalipun, aku pantas menerimanya.
Tapi, ajaib, alih-alih marah kudapat, panitia itu malah tersenyum. Ya, beliau tersenyum dan berujar: “Ya udah gak papa, baru sibuk SMS ya. Ini peserta nomor 11 dulu yang masuk, njenengan habis ini”.
Kalimat itu rasanya seperti salju longsor di kepalaku. Nyeessss. Lega rasanya beliau gak marah. Aku anggukkan kepalaku sambil mati-matian menekuk bibirku supaya tampak tersenyum. Padahal aku malunya bukan main. Yah sudahlah. Teman-teman yang lain juga sudah mulai sibuk dengan aktifitasnya sendiri-sendiri.
Suasana kembali hening. Masih dengan perasaan tak percaya aku mulai mengorek-ngorek letak keteledoranku tadi. Pertama, di lembar absensi aku memang nomor 14, pertanda berkasku dikumpulkan pada urutan ke 14. Tapi, nomor dada ternyata bukan berdasarkan berkas, namun kehadiran di tes wawancara ini. Celakanya, aku tadi asal aja mengambil nomor dada, tanpa membacanya dengan teliti. Ah sudahlah, aku belajar 1 hal hari ini. Harus teliti & korektif.
Akupun bersiap menanti panggilan. Tiba-tiba, “Nomor 10!” Nomorku dipanggil. Kuseret tas dan map file yang penuh file presentasi. Baju lurik Jawapun harus aku bawa selalu, karena aku tak tau dengan Juri ke berapa aku akan perform kesenian. Yang penting, juri menyinggung soal kesenian, aku siap.
Aku berjalan dengan cepat, tak lupa aku menebar senyum kepada panitia yang tadi memanggil-manggil nomorku. Maaf ya mas, ujarku dalam hati. Merekapun tersenyum. Fiuh syukurlah. “Penguji 2 mas”, mereka berseru. “Siap Pak”, aku menyahut cepat.
Pintu aula aku buka. Kok macet. Aku coba daun pintu yang lain. Macet juga. Apa ini jebakan? Apa memang terkunci dari dalam? Ternyata bukan ditarik seperti kebanyakan pintu. Tapi didorong ke dalam. Ah malu lagi.
Pandanganku menyapu ruang ujian. Ternyata keempat juri sudah menyebar ke empat penjuru. Lengkap dengan meja dan kursi untuk peserta. Aku menelisik papan penanda penguji 2. Ternyata ada di ujung timur. Aku segera berjalan cepat menyeberangi ruangan tengah. Ketiga peserta lain sedang tenggelam dalam ladang pembantaian. Samar-samar kudengar kosakata Bahasa Inggris yang terbata-bata. Ah rupanya semua wawancara menggunakan Bahasa Inggris. Aman, pikirku.
Ibu itu berusia sekitar 40 tahunan. Dengan sorot mata yang ceria. Perawakannya tidak kurus tapi juga tidak gemuk. Posturnya lumayan tinggi untuk ukuran seorang wanita. Tapi menurutku beliau lebih cocok menjadi ibu rumah tangga. Terlihat Homy sekali soalnya. Auranya kayak ibu-ibu rumahan. Apalagi dengan jilbab pendek yang terkesan casual, jauh dari kesan formal he he. Beliau menyapaku ramah. Aku perkenalkan diriku dengan sehormat mungkin. Dan akhirnya, pertanyaan demi pertanyaan mengalir deras.
Seperti dihujani panah bertubi-tubi, aku sempat gelagapan menerima berondongan pertanyaan dari Ibu tersebut. Aku tak menyangka Bahasa Inggrisnya cukup bagus, dan to the point! Tanpa pembukaan ataupun basa basi. Ini gaya khas penguji tesis skripsi. Wew ini lawan yang sepadan. OK, akupun membenahi posisi dudukku dan mulai defence. Satu demi satu pertanyaan beliau mulai bisa aku tangkis, terkadang aku memberikan strike, pertanyaan balik yang menyerang atau sebuah jawaban memukau yang membuat beliau sampai harus mendongakkan kepala, memandangku dengan setengah tak percaya. Di kesempatan lain beliau sampai menyorongkan tubuhnya dan menatap lekat-lekat materi yang aku paparkan sambil terheran-heran. Beliau appreciate. Done. 1-0 ha ha.
Mungkin rekan-rekan penasaran dengan wawancara apa yang aku lalui itu. Well, sebenarnya aku tak terlalu ingat persis dialognya dengan tepat, karena aku juga tak merekamnya. Bahkan, nama ibunya sendiri akupun tak tahu!
Yang aku ingat, beliau banyak menanyakan motivasi kedatanganku ke Queensland. Well, aku jawab bahwa kesempatan pergi ke luar negeri adalah langka. Maka aku tak boleh melewatkannya. Saat beliau bertanya subject pengajaranku, maka aku paparkan materi karya ilmiahku tentang pembelajaran Bahasa Inggris dengan pendekatan matematis. Bahkan beliau meminta pemaparan lengkap dari awal sampai akhir. Akupun mati-matian menjabarkan makalahku. Masalahnya, materi ini panjang & aku harus merangkumnya sesingkat mungkin tanpa mengurangi pembahasan utamanya. Pertanyaan ini berakhir dengan beliau mendesah nafas sambil menegakkan tubuhnya. Beliau puas dengan jawabanku.
Pertanyaan berikutnya adalah asal daerahku. Maka aku jabarkan Kabupaten Sragen berikut makalah singkatku mengenai Museum Sangiran. Tampak beliau kaget ketika untuk pertanyaan kedua inipun aku sudah siap dengan materi di tangan. Jemariku sibuk menyibak halaman demi halaman foto-foto koleksi Museum Sangiran. Beliau cukup menikmatinya dan cukup puas sejauh ini. Namun aku kurang yakin & tak mau lewatkan kesempatan langka, maka aku jatuhkan statement simpananku, “Mam, do you know that from all of fossils in the world, Sangiran has 50 % of it?” Berhasil. Ibu itu mendongakkan kepala beliau sambil terperangah. 50 %? Ya, hebat kan? Separuh dari koleksi fosil purbakala dunia ternyata ada di Indonesia! Lebih tepatnya di Sangiran Sragen jawa Tengah. Aku yakin tak banyak orang mengetahui ini. Dan akupun bangga ketika mengetahuinya. Indonesia memang menyimpan potensi luar biasa. Semua yang mendengar ini pasti akan kaget, bangga bahkan shock! Dan benar,Ibu itupun lemas terkulai di tempat duduknya. 2-0, aku menang ha ha.
Di akhir wawancara terjadi peristiwa yang sungguh di luar dugaanku. Andapun pasti sama tak percayanya dengan saya. Tapi itu terjadi. Di depan mata & hidung saya. Saya menyebutnya “rezeki dari arah yang tak disangka-sangka”.
Saat itu beliau sedang memaparkan program sehari-hari di Queensland. Rupanya Ibu ini sebelumnya adalah alumnus program ini. Beliau menjelaskan bahwa masing-masing kami nanti akan tinggal dengan sebuah keluarga di Queensland. Setiap hari Senin dan Kamis kami akan menghabiskan waktu di ruang perkuliahan University of Southern Queensland. Selasa & Rabu kami akan mengajar di SMP & SMA di sana sesuai mapel masing-masing. Hari sisanya untuk jalan-jalan. Wow, aku sudah membayangkan kegiatan yang mengasyikkan di Universitas, mengajar bule-bule & tentu saja menikmati pesona alam & tempat tamasya maupun belanja di Queensland. Senyumku mengembang.
Dan, peristiwa itupun terjadi, tak ingin kehilangan 1 poin pun dalam sesi wawancaraku ini, aku berikan jurus pamungkasku. Memang aku belajar banyak dari susahnya menembus beasiswa luar negeri. Maka aku harus totalitas. Memang program ini akan memberangkatkan tidak hanya 1,2 tapi 6 peserta! Tapi tetap saja, targetku adalah nomor 1. Tak ada ceritanya nomor 2 atau 6!
Saat beliau sedang asyik-asyiknya menceritakan suka duka training di Queensland, aku menyela dengan sebuah informasi, “ Mam, actually I have been choosen by Kemendikbud Jakarta to join Postgraduate Program in Singapore,” sambil telunjukku menunjuk tulisan pada berkas formulir pendaftaranku: KANDIDAT PENERIMA BEASISWA KEMENDIKNAS – RELC SINGAPORE PROGRAM “BLENDED POSTGRADUATE DIPLOMA IN APPLIED LINGUISTICS” (2013).
Keheningan tiba-tiba muncul tak lama sesudah statemenku tadi. Keheningan yang aneh, karena masing-masing kami sibuk dengan pikiran yang berbeda-beda. Aku, tentu saja bungkam karena menunggu komentar dan respon dari sang Ibu. Tapi jujur aku tak menyangka respon beliau sungguh di luar perkiraanku. Sementara sang Ibu masih menatapku seolah aku ini membawa berita bahwa sang Ibu barusan memenangkan undian senilai 1 Milyar ha ha. Tak ingin kehilangan momen, aku hunjamkan strike-ku yang ke-2, “The plan is, I will go to Singapore in July this year, & it will take 7 months of training”.
Masih dengan setengah tak percaya, sang Ibu menyela, “So what about Queensland’s program?” Aku faham arah pertanyaan beliau. Jika aku memang mau ikut program Singapore selama 7 bulan, yang berarti antara bulan Juli 2013 sampai dengan Januari 2014 aku akan berada di Singapore. Dan tak mungkin aku bisa membagi 2 konsentrasi antara Singapore & Australia. Ibu itu memintaku menjatuhkan pilihan.
*
Saat itu di ruangan tempatku bekerja. Seperti biasa aku berjibaku dengan berkas-berkas pendaftaran siswa baru, proposal rekanan dan lain-lain. Ruanganku ini lumayan besar. Sangat besar bahkan. Ukurannya sekitar 6x6 meter. Sepasang perangkat LCD & screen new menambah gagah ruangan ini. Memang ruangan ini harus perfect, karena semua tamu, terutama calon siswa baru akan masuk ke ruangan ini. Tiga buah manekin separuh badan berjejer rapi disampingnya, lengkap dengan tiga kaus kebanggaan sekolah kami. Dua buah AC merk LG berdengung halus di atas kepalaku. Terjangan freonnya seringkali membuatku bolak-balik ke kamar kecil. Tiga buah meja super besar dengan masing-masing PC terbaru merk ACER menambah kesan keren ruanganku ini. Kemudian, sebuah meja panjang untuk menerima tamu berukuran 1x3 meter berdiri mematung di tengah ruangan. Enam buah kursi kayu menjadi temannya sehari-hari. Di sebelah utaranya, berdiri tegak sebuah almari kaca yang tinggi besar. Kesan gagahnya mulai luntur seiring dengan berjejalnya piala-piala hasil perjuangan siswa sekolah kami. Bagian atas almari itu tampak sedikit melengkung menahan beban. Alhasil, beberapa piala yang tak muat, sengaja diletakkan di kanan kiri almari. Bukannya tak menghormati, tapi kami masih menunggu datangnya almari kaca baru.
Ketika itu aku tak sendiri. Ada seorang rekan kerja yang sedang sibuk menata berkas di dekatku. Memang, sebentar lagi sekolahku akan mengadakan acara wisuda. Dan dia sebagai ketuanya. Tak heran dia tampak paling sibuk akhir-akhir ini. Temanku ini bernama Evin. Namanya aneh karena memang dia tak lahir di Indonesia. Dia kelahiran Kuala Lumpur, ayahnya seorang diplomat yang sering berpindah-pindah negara. Oleh sebab itu evin selalu ikutkemanapun ayahnya ditugaskan. Evin menghabiskan masa kecilnya di Swiss, Turki, Perancis dan terakhir menempuh bangku kuliah di Malaysia. Tak heran dia menguasai bahasa-bahasa negara tersebut. Bulan kemarin, dia baru saja merampungkan program Double Degree-nya di University De La Rochelle Perancis. Dia memang jenius, aset yang berharga bagi sekolah kami.
Evin juga seorang trendsetter. Apa yang dia pakai, orang lain jadi pakai. Apa yang dia beli, orang lain jadi beli. Dan apa yang dia suka, maka orang lain pun suka. Mulai dari baju, sepatu, gaya rambut, shampoo dll. Pernah ada cerita, ketika dia SMA di Semarang, dia mempercayakan potong rambutnya di Johnny Andrean, maka semua siswa cowok 1 sekolahpun potong rambutnya di Johnny Andrean. Gila kan? Ha ha.
Kami berdua sering bertukar ide dan gagasan. Termasuk soal pendidikan. Pengalaman dia mengambil Double Degree di Perancis, ditambah suka dukanya tinggal di negara Menara Eiffel yang konon beaya hidupnya tertinggi di dunia itu, membuatku yakin kalau dia lebih faham soal seluk belum pendidikan luar negeri.
Siang itupun aku ceritakan perihal dilema dua beasiswa yang cukup membuat keningku berkerut. Dia membaca sekilas dua tumpuk berkas yang aku sodorkan padanya. Satu beasiswa Singapore, dan yang satu beasiswa Queensland. Satu pertanyaan yang cukup membuatku terhenyak adalah saat dia bertanya: “Mana yang lebih menguntungkan?”. Jujur aku tak pernah berhitung secara teknis soal untung rugi. Termasuk kedua beasiswa ini. Dua-duanya aku suka. Beasiswa luar negeri pula, darimana tidak menguntungkan? Hanya saja, saat pertanyaan dikerucutkan ke tema: “Mana yang lebih menguntungkan?”, maka ini bisa lain ceritanya. Lantas, aku paparkan saja bahwa program di Singapore akan di handle oleh Southeast Asian Ministers of Education Organization Regional language Centre (SEAMEO RELC). Kelebihan program ini adalah, guru PNS yang terpilih kemungkinan besar akan diangkat menjadi guru pamong. Itu artinya dia akan menjadi guru trainer perwakilan Kemendikbud, dan harus sanggup ditugaskan ke seluruh Indonesia. Ini sangat menarik & menantang, secara jenjang karierpun lebih menjamin. Namun, beasiswa Queensland menawarkan program yang lebih pendek serta di handle langsung oleh universitas ternama, University of Southern Queensland. Maka Evinpun manggut-manggut. Segera ia merekomendasikan pilihan 1, yaitu Singapore karena ada jaminan jenjang karier bagiku.
Aku tak langsung mengiyakan, memang alasan Evin masuk akal bagiku, namun pergi ke Australia sudah menjadi semangat terbesarku saat ini. Bayangkan, bila harus berangkat sendiri, berapa juta uang akan habis untuk akomodasi? Sementara, jika ingin ke Singapore saya bisa pergi kapanpun & dengan beaya lebih terjangkau. Evin akhirnya ikut pendapatku yang kedua. Ia setuju bahwa USQ Australia lebih bonafid. Ok saya memilih Australia!
*
Dan itulah sebenarnya jawaban yang aku berikan kepada sang Ibu, aku lebih memilih Australia. Sang Ibu tersebut tampak terpekur sejenak. Dan kemudian kalimat itu muncul “I will give you the highest score if you promise to take this Australia’s scholarship! You shall not embarassing Jawa Tengah province if you cancel it!”
Kata-kata itu seakan meledak di atas kepalaku. Ini baru first interviewer, tapi aku sudah dapat Golden Ticket! Segera saja aku berdiri & berteriak mantap “Ok Mam, DEAL!!” Teriakku pelan, takut mengganggu konsentrasi peserta lain. Hatiku membuncah ke awang-awang. Terima kasih ya Alloh, teriakku berulang-ulang dalam hati. Ibu itupun tersenyum senang, sekaligus geli melihat tingkahku. Tak apalah, yang penting aku senang sekali! Aku bahagia! Segera aku kemasi berkas-berkasku & mohon diri untuk menunggu panggilan wawancara berikutnya. “Thank you Mam, thank you Mam” ujarku berulang-ulang. Yes! Aku lolos!! Aku tak mampu menahan senyumku, bahkan sampai ke tempat duduk. Kubiarkan peserta lain penasaran kenapa aku senyum-senyum sendiri. He he. Aku lolos teman! Aku lolos!
*
Rasanya baru beberapa saat yang lalu aku duduk, melihat beberapa peserta yang hilir mudik keluar masuk ruang tes. Suasana yang tegang bisa dengan mudah cair manakala Pak ujang peserta dari Cilacap mengeluarkan joke-joke lucunya. Semua tampak senang & terhibur. Tak ada lagi sekat kekakuan yang tadi menghinggapi kami. Sekarang, kami jadi lebih pede untuk bertegur sapa dan saling menyapa. Semua karena Pak ujang. Terima kasih Pak Ujang, Anda memang luar biasa! Dan panggilan itupun muncul. Aku beranjak menuju pewawancara ke 2.
*
Beliau tampak tenang sekali. Berparas seperti pejabat. Lebih mirip politikus menurutku. Dandanannya rapi. Sisiran rambutnya sempurna. Pengaturan nafasnya yang sistemik menandakan beliau tipe perfeksionis, tak mudah menerima sebuah kesalahan. Aku mendapat lawan berat.
Dialog kami datar-datar saja, cenderung mengalir. Dan tanpa emosi. Sulit sekali menarik respon dari beliau ini. Beliau pasti tipe dosen yang sudah pengalaman. Pengalaman membantai mahasiswa di ujian tesis sampai mereka menangis berdarah-darah sambil menyembah-nyembah memohon ampun. Seperti aku saat ini. Bahkan untuk merekam sebuah senyum dari beliaupun aku sangsi. Aku sangsi, itu sebuah senyum atau sindiran sinis? Entahlah, tapi aku tak menyerah, 1 Golden Ticket belum membuatku tidur nyenyak malam ini. Maka aku mulai melakukan strike, beberapa jurus yang sempat jadi andalanku di sesi wawancara pertama aku keluarkan. Ajaib, beliau mulai mendongakkan kepalanya. Aku serang, serang, serang dan serang terus. Akhirnya aku dapatkan senyum itu. Alhamdulillah. 1 Golden Ticket lagi Insya Alloh. Beliau tersenyum sambil menitipkan pesan. Pesan supaya aku segera ambil Master atau S2. Insya Alloh pak. Saya sih sebenarnya dulu sekitar tahun 2006 sudah apply untuk Master Pengkajian Bahasa Inggris di sebuah universitas swasta di Solo. Dengan jalur fresh graduate. Sangat murah. Tapi entah kenapa, kelas tidak bisa dibuka karena ada kendala teknis, dan aku diminta pindah universitas dengan konsekwensi kenaikan beaya hampir 2 kali lipat. Aku menolak. Dan seperti inilah aku. Masih belum punya mood untuk kuliah lagi dengan beaya sendiri. Kalau gratis? pasti aku mau! He he.
*
Sesi bertatap muka dengan pewawancara ke 3 sangat menguras energi & emosi. Betapa tidak. Sudah 3 jam lebih kami menunggu & baru dipanggil. Ini semua karena keputusan panitia membalik nomor urut peserta. Peserta yang belakang menjadi peserta terdepan. Dan inilah efeknya. Kami duduk mematung selayaknya kucing menunggu majikannya. Diam, setia, tak bergerak. Peluh mengucur, wangi sabun mandi & minyak wangi pudar sudah. Perut mulai mengempis minta diisi. Jatah makan siang tadi hampir tak kusentuh. Menunya pedas. Dan aku sedang tidak mood untuk makan siang. Alhasil badanku mengigil berjuang menahan lapar. Jangan sampai di depan pewawancara perutku keroncongan. Malu!
Aku isi waktu menunggu giliran ini untuk berbincang dengan Pak Yani, sang guru asal Kebumen. Beliau tampak kurang yakin dengan materi presentasinya. Aku geser posisi dudukku hingga menyebelahi beliau. Ternyata beliau sedang menyiapkan materi presentasi keunggulan daerah Kebumen. Selain kesulitan memilih pokok materi, beliau juga terbatasi dengan kosakata Bahasa Inggris. Aku tergerak untuk membantunya. 
Pak Yani guru SMPN 1 Kebumen

Setelah beberapa kali mendengar uraian singkat beliau, baru aku dapatkan kata kuncinya. Kebumen menyimpan berbagai macam seni budaya & kekayaan alam. Saat itu aku putuskan beliau mengambil sampel burung walet. Kenapa burung walet? Ya karena semua orang pasti kenal burung walet & sarangnya. Dan inilah yang dimiliki oleh Kebumen: Goa Karang Bolong. Segera aku gali sebanyak mungkin informasi mengenai Goa ini dan waletnya. Tak lupa kami bermain Role Playing. Aku berperan sebagai juri dan beliau sebagai peserta. Kami berlatih selama hampir setengah jam. Tak lupa aku ingatkan beliau untuk mengeksplore apa itu perbedaan burung walet dan burung sriti. Karena banyak orang tak tahu. Demikian juga aku. Aku baru tahu bahwa ternyata burung sriti sesungguhnya adalah musuh burung walet. Burung sriti sering merampas sarang burung walet dan membuang telurnya. Kamipun menyempurnakan cerita ini dengan menerjemahkannya mati-matian dalam Bahasa Inggris. Untuk walet terjemahannya tentu Swallow. Bagaimana dengan Sriti? Ha ha. Kamipun sepakat untuk memakai kosakata darurat, Sriti Bird ha ha. 
Tak lama, Pak Yanipun maju untuk wawancara. Dan setelah keluar, beliau sangat girang karena materi walet dengan baik dapat beliau paparkan. Apalagi, ternyta sang juri juga sama dengan saya, tak tahu apa bedanya walet dengan sriti! Ha ha. Selamat pak Yani!
*
Akhirnya giliranku maju datang. Beberapa menit sebelumnya, kasak kusuk terdengar santer di kursi peserta. Bahwa pewawancara yang ke 3 ini killer! Aku sigap menegakkan posisi dudukku. Dan mulai menguping pembicaraan mereka. Dari pembicaraan teman-teman, kudapat info bahwa pewawancara ketiga ini seorang perempuan. Fokusnya pada masalah kependidikan, dengan Bahasa Inggris yang sangat fasih. Wow satu lagi ujian berat menuju Golden Ticket ke 3. Bismillah.
*
Beliau masih cukup muda untuk ukuran seorang dosen atau guru senior. Aku tebak usia beliau antara 35-37 tahun. Usia emas. Usia idealis. Lawan yang tangguh.
Senyum beliau di awal perkenalan menegaskan itu semua. Ini senyum kemenangan. Bahkan sebelum aku bertarung! Sungguh hebat panitia queensland ini. Dari mana mereka mendapat juri-juri tangguh & berdarah dingin ala juri X Factor ini? Semuanya qualified, high quality, best of the best, sebutkan semuanya. Tapi aku disini bukan untuk menyerah kalah. Aku adalah pejuang. Dan mereka, para juri harus sadari itu, aku tak mau kalah!
Tak butuh waktu lama untuk bisa menarik benang merah dari hasil wawancaraku yang ke 3 ini. Yang kuingat, aku masih meledak-ledak dalam luapan semangat yang entah dari mana kudapatkan. Semangat karena lelah, semangat karena tinggal 1 juri lagi yang harus kuhadapi, semangat karena lapar dll. Dan kalimat itupun muncul, “Ok, nice interview”. “That’s all?” tanyaku tak yakin. “Yeach, we are only have 5 minutes interview actually” ujar beliau. “Well, OK” jawabku tak yakin. Namun aku puas. Aku puas saat beliau tersenyum saat aku ceritakan bahwa Pak Cip menitipkan pecinya untuk menemaniku dalam sesi wawancara ini. Aku puas saat beliau dengan sungkan menolak perform geguritanku karena waktu sudah tak memungkinkan. Dan aku puas karena membuktikan bahwa pendapat teman-teman soal juri killer itu salah. Beliau baik, sangat baik bahkan. Kita tak kan pernah tahu seseorang, sampai kita berbicara dengannya bukan? 1 Golden Ticket lagi Insya Alloh.
*
Juri ke 4. Juri terakhir. Aku terseok menyeret tasku yang menggembung menahan beban file presentasi & kostum geguritanku. Beberapa teman tampak melihat iba sekaligus heran mengapa aku begitu setia mebopong tas ini kemana-mana. Kalau mereka tahu isi tas ini adalah properti panggung ala seniman sriwedari, maka mereka pasti mahfum. Tak hanya mahfum. Mereka pasti akan berteriak-teriak tak terkendali demi melihatku sudi bersajak geguritan menghibur kelelahan mereka sore ini. Lain kali sajalah kawan. Saat ini, aku mau menutup hari ini dengan manis. Membawa 4 Golden Ticket demi tiket ke Queensland. Menembus 6 besar. Menuju negeri Kangguru! Queensland tunggu kedatanganku!!
*
Bertolak belakang dari ketiga juri di awal, juri terakhir ini tampak berbeda. Berbeda karena ia adalah juri termuda, paling ceria & paling bersemangat. Bahkan saat semua peserta sudah tertunduk kuyu dihujani kuesioner khas ujian tesis!
Perempuan ini memang tampak muda, terlalu muda bahkan untuk ukuran seorang guru. Perawakannya sedang, bahkan cenderung mungil. Mirip temanku kuliah si Ratih, penulis handal yang sekarang sedang sibuk meniti jalan-jalan kota Seoul mencari sumber inspirasi. Kuduga, juri ini tak jauh berbeda dengan Ratih, cerdas, cerewet, selalu ceria, dan tak mudah puas. Selalu haus akan tantangan demi tantangan. Alisku terangkat tinggi manakala kuingat spesialisasi juri ini. Psikologi.
Menghadapi seorang psikolog itu seperti menghadapi kamera CCTV. Anda tak bisa melihatnya, namun ia menyorot anda bulat-bulat! Seperti juga juri yang satu ini. Setiap usai ia bertanya dan mendapat jawaban dariku, tak lupa ia menyelipkan senyum kecilnya. Aku jadi curiga, itu senyum tulus atau tidak? Aku tak tahu. Yang kutahu aku menjawab setiap inci dari pertanyaannya dengan lantang, efektif dan jitu. Entah menurutnya seperti apa. Mungkin juga jawabanku memuaskan, mungkin juga sebaliknya! Seperti saat ia bertanya, “What will you get from this trip to Queensland?, What is your goal? How if you cannot gain it?”. Pertanyaannya pendek, terkesan formal, membosankan, mudah ditebak & kurang serius. Namun aku melihat, disinilah kedahsyatan seorang psikolog. Mereka memulai dari hal yang mudah, dan berakhir dengan kesimpulan bahwa kita berpura-pura, bersandiwara, over confidant & terkesan mau menjilat! Aargh, aku tak bisa pahami logika seorang psikolog. Jika kita menjawab optimis, kita akan dicap mengada-ada. Jika sedikit ragu, maka kita akan dicap tak punya pendirian. Jika bilang tak tahu? Kita akan dicoret! Habis sudah. Mau apa lagi coba?
Itulah mengapa, saat menghadapi juri terakhir ini ruhku seakan dilolosi satu per satu. Kesombonganku luntur. Idealismeku tercekat. Lidahku yang biasa presentasi 90 menit tanpa hentipun mati rasa. Memang benar, musuh terakhir adalah musuh yang paling kuat. Rupanya, panitia Semarang ini memasang jurus andalannya di sesi terakhir. Nasibku ke depan tertoreh di sini. Maju atau mundurnya ditentukan sekarang. Bukan tadi atau nanti. Aku jadi berpikir, mengapa aku tak langsung dapat juri ke 4 tadi? Lapar perutku semakin menjadi. Konsentrasiku hilang. Bahan presentasi sudah habis kupakai. Mati-matian aku mencari ilham. Aku mulai goyah.
Aku tertatih menyusun kata-kata. Kupaksakan senyum dan kubulatkan mata tanda aku adalah peserta terbugar. Tapi percuma. Bukankah aku menghadapi psikolog? Tapi tak apalah. Daripada menyerah kalah, lebih baik kupaksakan berdiri tegak meski menahan perih puluhan hunjaman luka. Ini sesi terakhir. Aku harus kuat. Mati-matian aku meyakinkan jiwaku yang sudah terkulai lemah. 12 jam perjuangan sejak subuh. Masak aku berhenti disini? Aku tersenyum sinis pada mentalku. Ajaib, semangatku yang tadinya kendur mulai bangkit. Nafasku mulai menderu. Aku susun satu demi satu kesadaranku. Dan akhirnya wawancara itu usai. Juri ini puas. Akupun puas. Tak ada yang terpikir dariku saat menjawab desingan pertanyaan yang terlontar dari dirinya. Seakan tak sadar aku mengucapkannya. Benarkah ini kalimatku? Ucapanku? Ideku? Ilhamku? Tidak. Ini semua dari Tuhan. Tuhan yang berkehendak. Aku hanya hambanya yang kecil & lemah. Dia-lah Yang Menyusun kata-kata itu untukku.
“Well, what is the something that can I get here is a question also. What is definition of something here? Something is anything. Even here, in this interview, I’m learning about something. I’m learning about you, I’m learning about streets in Semarang, I’m learning about my friends here. Those participants. Their behaviours. Their sense of humour...anything Miss..we can learn about anything...anywhere....”
*
Aku terkulai lemah di jok mobil. Pak Sarimo memacu mobil menembus macet kota Semarang. Aku tersenyum mengingat ekspresi sang juri ke 4. Sang juri terkuat yang kuhadapi. Dia tersenyum tulus. Ya, tulus sekali. Aku bisa membacanya dengan jelas. Senyum kepuasan serupa dengan sang juri 1. Senyum yang akan menghantarkanku menuju Queensland Insya Alloh. Golden Ticket ke 4. Semoga benar adanya. Telah kuraih sore ini. Amien. Aku tertidur pulas.
*
1 pekan berlalu sejak wawancara di Semarang. Aku mulai sibuk bersama teman-teman merampungkan pendaftaran siswa baru, sekaligus membantu persiapan wisuda Evin. Tak ada firasat apapun. Semua berjalan seperti biasa. Sampai saat itu tiba.
*
Sabtu 11 Mei 2013. Jam 13.00 siang. Tanganku menggenggam erat kemudi mobil. Ketiga temanku tampak asyik dengan lamunannya masing-masing. Jok belakang penuh dengan barang-barang perlengkapan wisuda.  Kami memang sedang menuju hotel tempat wisuda malam ini. Evin sudah sejak pagi tadi berada di sana. Pak Joko Pri yang duduk di sampingku tampak sedang melemparkan leluconnya, saat tiba-tiba Hpku berbunyi pelan. Ada SMS masuk.
*
Jika ditanya bagaimana rasanya pingsan, mungkin orang akan berbeda-beda menjelaskannya. Ada yang menggambarkan sebagai cahaya putih yang menerjang dengan tiba-tiba. Ada yang melukiskan seperti gelap yang menyergap dengan cepat. Ada juga yang mengungkapkannya sebagai keheningan maha dahsyat yang membunuh dengan tanpa suara. Seperti aku saat ini. Keheningan ini selaksa tidur yang absurd. Entah aku sedang bangun atau sedang pulas dibuai mimpi. Rasanya tak percaya, impossible, mustahil. Tapi, bukankah aku sering ceritakan pada siswaku, “The most impossible thing in this world, is the impossible itself”. Tak ada yang lebih mustahil di dunia ini selain kemustahilan itu sendiri. Semua hal adalah mungkin. Tak ada yang mustahil. Selama Tuhan berkehendak, maka alampun akan tergerak mematuhi. Manusia bisa apa?
Dan berita SMS inipun membuatku tersadar. Tuhan itu melingkupi segalanya. Saat kau berpikir kau lemah, Tuhan ada di sana. Dan saat kaupun berpikir kau digdaya maka Tuhanpun ada disana. Tak ada ceritanya kau meniadakan Tuhan. Tak ada satu jengkalpun tanah di bumi ini yang tak meninggalkan jejak kekuasaan Tuhan. Semua berjalan atas kehendak & iradat-Nya. Semua kelahiran & kematian selalu karena-Nya. Semua yang datang & pergi adalah kehendak-Nya. Semua tangis dan bahagia, adalah kuasa-Nya. Dan apa yang diputuskan padaku saat inipun, adalah keinginan-Nya. Maka akupun, terduduk lemas di kursi mobil inipun juga sudah suratan-Nya. SMS ini, hanya bagian kecil dari skenario-Nya. Sangat amat kecil. Aku serahkan hidupku, pada-Mu ya Robb.
Hsl seleksi ke queensland sdh diumumkan, pak ari perinkat 14 nilai 80.peringkt 6 nilai 88. (teks asli SMS Pak Indri, Sabtu 11 Mei 2013 jam 13:37)
*
 
Daftar Peserta yang lolos ke Queensland. Selamat ya
Senin 13 Mei 2013, aku telepon pak Marsono di Magelang. Aku kabarkan berita Queensland kepada beliau. Beliau lolos. Bahkan menduduki peringkat ke 2. Beliau sangat gembira & berucap syukur. Siang harinya aku simak baris demi baris status beliau di Facebook. Satu demi satu rekan beliau berucap selamat atas keberhasilan beliau. Di bagian atas, tampak surat hasil scan ku menjadi latar dari status beliau. Ada nama-nama peserta yang lolos di sana. Memang surat tersebut segera aku scan dan aku email ke beliau. Agar berita gembira ini segera beliau terima di sana. Hatiku bergemuruh menahan air mata. Aku harus kuat. Tak boleh menangis. Jika orang lain gembira aku juga harus gembira. Aku paksakan menyunggingkan senyum. Selamat bapak. Selamat ya teman-teman yang lain juga. Aku tunggu kabar & foto-foto Quensland via status-status Facebook kalian.
Pak Marsono dari SMAN 1 Magelang