Jumat, 02 Maret 2012

Mengkudeta Wewenang

Tulisan saya kali ini mencoba mengkritisi bagaimana sebagian dari saudara-saudara kita diluar sana yang tiba-tiba tanpa 'sebuah pendelegasian' merasa berhak untuk memutuskan sesuatu yang pada dasarnya bukan menjadi wewenangnya.
Sebagai sekolah yang baru berdiri, maka wajar bagi sekolah saya untuk melakukan promo, cuci gudang menawarkan beasiswa pada para calon siswa kemana-mana.
Bertitel Sekolah Internasional dengan seabrek prestasi nasional & internasional, fasilitas multimedia, bilingual program, laboratorium modern, buku-buku impor, serta dukungan staf pengajar asing, maka tak ayal sekolah kami ini menjadi serbuan para 'penyadar mutu'. 
Orang-orang tersebut sadar, dengan fasilitas sekolah yang serba wah yang kami tawarkan menjadi jaminan kenyamanan belajar bagi putranya sekaligus sebagai investasi yang menjanjikan untuk masa depan anak-anak mereka.
Sayangnya jumlah orang-orang yang sadar mutu ini sendiri masih bisa dihitung dengan jari. mereka kebanyakan didominasi oleh keluarga yang melek teknologi, visinya jauh ke depan, ambisius, sekaligus berduit.
Mereka, keluarga menengah ke atas ini, rela merogoh kantungnya dalam-dalam demi mewujudkan impian mereka untuk sebuah investasi yang menurut sebagian kalangan - yang masih belum melek kemajuan - adalah sebuah tindakan sia-sia, berlebih atau bahkan mubazir.
Kalangan yang kedua ini beranggapan bahwa sekolah tak perlu mahal. yang penting bisa sekolah, lulus, kuliah (kalo ditrima di PT) dan bekerja (kalo dtrima kerja).
Ada juga kalangan ketiga, ini yang paling aneh menurut saya, mereka beranggapan bahwa tidak akan ada masanya bagi sekolah baru -seperti sekolah saya- untuk bisa diterima di masyarakat.
Mereka beranggapan bahwa sekolah favorit itu berinisial angka 1,2 atau 3. SMP 1, SMA 1 begitu seterusnya. Meskipun anda memberondong mereka dengan seabreg presentasi prestisius, membawa piala-piala kejuaraan dunia yang diraih sekolah anda, maupun guru asing kehadapan mereka, mereka hanya akan mengulum bibir, menggeleng pelan, sedikit memejamkan mata sambil bergumam pendek: "Maaf, tidak tertarik" :)
Seperti kejadian baru-baru ini, kami berputar putar di sekitar wilayah Surakarta untuk mempromokan sekolah kami, tak cukup disitu, kamipun menawarkan beasiswa berprestasi serta beasiswa kerjasama sekolah kepada mereka. ada yang tertarik & follow up, ada pula yang menolak.
Yang menjadi keheranan terbesar saya adalah manakala beasiswa yang seharusnya menjadi menjadi hak anak, terkadang sudah awal-awal dikebiri oleh sekolah, entah itu guru BK atau siapa. jawaban mereka pendek: "Anak tidak tertarik.." hah?! bagaimana mereka bisa tidak tertarik? mendengarkan & melihat presentasi kami saja belum. Ini yang aneh...sekolah menghalang-halangi hak siswa untuk menerima info seluas-luasnya tentang sekolah lanjutan mereka.
Ini soal masa depan anak, tapi oknum sekolah seakan bertindak seperti orangtua kandung mereka, bahkan saya yakin jika kami diberi kesempatan untuk bertemu dengan orangtua siswa, mereka akan menjawab lain.
Ada juga kejadian kami hendak bertemu kepala sekolah, seorang satpam bisa dengan mudahnya menolak kami. ini beasiswa untuk anak, sekolahpun hanya pihak perantara..lha ini satpam sekolah malah bertindak melampaui wewenangnya. mengebiri hak anak, mengkudeta wewenang mereka.
Pertanyaan logis sebenarnya untuk mereka: jika mereka -pihak-pihak yang menghalangi beasiswa untuk siswa- berani memposisikan diri seakan orangtua sang siswa, maka pertanyaan saya: apakah mereka juga sanggup membiayai pendidikan siswa tersebut? mengantarkan mereka hingga bangku kuliah? seperti yang selama ini sekolah kami lakukan? anda bisa menebak sendiri jawaban mereka
Pada akhirnya, saya hanya bisa bergumam: saya sudah menyampaikan. mereka sendiri yang memutuskan. jika mereka menyesal di kemudian hari (seperti pengalaman pihak2 yg sempat menolak dulu), maka itu menjadi konsekwensi keputusan mereka. saya hanya membantu, jika anda menolak bantuan saya pun saya tak rugi :)
Terus berkarya untuk kemajuan pendidikan Indonesia !
PRESENTASI DI SMPN 4 SURAKARTA


Tidak ada komentar: